Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

KHILAFAH BUKAN HANYA SEKADAR ROMANTISME SEJARAH


Salah satu tudingan yang sering disampaikan para penolak Khilafah adalah bahwa gagasan Khilafah tak lebih dari romantisme sejarah. Dalam pandangan mereka, Khilafah hanya milik masa lalu yang tak relevan diterapkan di era kekinian.

Profesor Azyumardi Azra misalnya, mengungkap hal tersebut dalam bukunya Transformasi Politik Islam: Radikalisme, Khilafatisme, dan Demokrasi. Pada bagian kelima halaman 252, dia menyebut ide Khilafah seperti yang digagas Hizbut Tahrir Indonesia hanyalah romantisme dan idealisme sejarah.

Dia pun menyitir alasan, bahwa jika gagasan ini dinisbatkan kepada Turki Utsmani, maka sejak masa Sulaiman Al Qanuni (abad ke-15) para penguasa Turki Utsmani hampir tak pernah menyebut otoritas politik mereka sebagai “Khilafah”, atau menyebut diri mereka sebagai “Khalifah”.

Menurutnya, mereka justru begitu rendah hati hingga hanya menyebut diri mereka sebagai “Sulthan”. Karena mereka sadar istilah Khilafah atau jabatan Khalifah bukan istilah sembarangan. Sementara mereka hanyalah para ghazi yang karena perjalanan sejarah bisa menjadi penguasa.

Terlebih dalam penilaian Azyumardi, para penguasa ini ternyata tak mampu mempertahankan kebesaran kekuasaan Al Qonuni. Mereka malah tenggelam dalam kekuasaan despotik, melakukan berbagai penyimpangan dan tak memedulikan rakyat banyak.

Dengan paparannya ini, Sang Profesor dan mereka yang sejalan dengannya, nampak ingin membangun narasi, bahwa apa yang dilakukan oleh pengusung Khilafah tak berbeda dengan yang dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid di era akhir Khilafah.

Narasi “mengembalikan Khilafah”, hanyalah upaya membangun romantisme sejarah. Yang dilakukan semata demi kepentingan politik; Menarik simpati masyarakat hanya demi tujuan pragmatis kelompok pemburu kekuasaan.

Di saat yang sama, mereka pun seakan ingin menunjukkan, bahwa upaya ini hanyalah bentuk kesia-siaan. Karena apa yang disebut sebagai “era kejayaan Islam” nyatanya hanyalah dongengan. Mengingat sejarah panjang kekhilafahan, khususnya di era Utsmaniyah, justru diliputi penyimpangan-penyimpangan.

Hal ini dikuatkan dengan beberapa wawancara yang ditayangkan televisi nasional. Sang profesor keukeuh menyampaikan, bahwa menisbatkan perjuangan Khilafah pada era dinasti Utsmaniyah adalah salah. Karena Khilafah Utsmaniyah, bukan Khilafah nubuwwah. Melainkan hanya kerajaan yang kekuasaannya diturunkan melalui pewarisan.

Bahkan Khilafah selain Sayyidina Abu Bakar dan Umar bin Kaththab ra pun, disebut-sebut tak layak disebut Khilafah. Apalagi Khilafah nubuwwah. Karena di masa-masa itu, sejarah kekuasaan Islam begitu berdarah-darah.

Narasi inilah yang berulang-ulang disampaikan demi menolak gagasan penegakan Khilafah Islam. Lalu diadopsi oleh berbagai kelompok para pendengki, seolah-olah mereka mendapat senjata hebat dan rasional untuk menyerang dan melumpuhkan hujah para pengusung Khilafah.

Rupa-rupanya mereka gagal memahami argumentasi dakwah Khilafah. Seolah-olah dalil perjuangan Khilafah hanyalah bertumpu pada sejarah. Dan seolah-olah mereka para pendakwah Khilafah sudah begitu dibutakan oleh sejarah dan hanya hidup dengan romantisme sejarah.

Padahal, dakwah penegakan Khilafah tegak di atas hujjah syar’iyah. Yakni berlandas pada sumber hukum syara, mulai dari Kitabullah, sunnatur Rasulillah, Ijmak sahabat, hingga qiyas syar’iyyah.

Dan pembahasan detail soal ini, terserak di berbagai karya tulisan para ulama, yang bagi seorang muslim yang khalis, tak mungkin bisa menolaknya.

Lantas, mengapa ada ikhtiar mengungkap sejarah? Tak lain semata agar umat mau mengambil ibrah. Betapa Khilafah bukan gagasan asing dalam agama dan sejarah peradaban mereka.

Khilafah, justru telah eksis belasan abad menaungi dunia. Bahkan jejaknya, begitu dekat dengan mereka, termasuk di nusantara.

Betul bahwa sejarah peradaban Islam tak sepenuhnya bisa diambil sebagai teladan. Karena sebagai sistem yang diturunkan untuk manusia, memungkinkan terjadinya penyimpangan dalam penerapan.

Namun menafikan seluruh atau sebagian besar dari sejarah islam karena adanya sisi-sisi sejarah kelam, jelas-jelas merupakan sebuah kelancangan. Karena keberadaan sejarah emas peradaban islam juga tak bisa dinafikan. Bahkan banyak diakui para sejarawan Barat yang jujur dalam keilmuan.

Bahkan lebih lancang lagi, jika sikap itu diikuti penolakan terhadap keberadaan sistem Khilafah. Karena Khilafah sejatinya adalah bagian dari ajaran Islam. Dan sejarah emas peradaban Islam tadi, tak bisa dilepaskan dari penerapan ajaran-ajaran Islam di seluruh aspek kehidupan.

Walhasil, keberadaan Khilafah merupakan keniscayaan sejarah. Bahkan dalam hal ini, baginda Rasulullah ﷺ telah menyampaikan sebuah hadis yang menyebut soal lima fase kekuasaan dalam sejarah umat islam hingga hari kiamat.

Dari Hudzaifah r.a., ia berkata, Rasulullah bersabda,

«تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ»
Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya.
Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya.
Kemudian akan ada kekuasaan yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada. Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. 
Kemudian akan ada kekuasaan diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada. 
Selanjutnya akan ada kembali Khilafah yang mengikuti minhaj kenabian.
(HR. Ahmad dalam Musnad-nya (no. 18430), Abu Dawud al-Thayalisi dalam Musnad-nya (no. 439); Al-Bazzar dalam Sunan-nya (no. 2796))

Editorial Herry Ahmed

Posting Komentar

0 Komentar