Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

THE STATE GUARDIAN


Bila sebuah negara memerlukan pelindung atau penjaga, siapakah kiranya pihak yang pertama kali diharap melakukan hal itu? Pemerintah. Ya, pemerintahlah yang semestinya menjadi penjaga negara (the state guardian) yang utama. Pemerintah dengan segenap perangkatnya telah mendapatkan mandat dari rakyat untuk mengelola, mengatur dan tentu melindungi negara dari bahaya yang mengancam.

Itu dulu. Sekarang tidak selalu begitu. Pada era sekarang, era korporatokrasi, saat dominasi perusahaan global demikian kuat, pemerintah atau tepatnya sebuah rezim yang telah tunduk pada hegemoni perusahaan itu, alih-alih bertindak sebagai the state guardian, justru bisa menjadi pihak pertama yang membawa negara ke dalam bahaya.

Korporatokrasi pada dasarnya merupakan sebuah sistem yang terdiri dari berbagai unsur kekuasaan, yakni korporasi-korporasi besar, partai politik, perbankan internasional, kekuatan militer, media massa, kaum intelektual yang telah terkooptasi dan elit nasional yang bermental komprador, pada level nasional maupun global untuk mencapai suatu tujuan kolektif. John Perkins dalam an Economic Hit Man menggunakan istilah korporatokrasi untuk menunjukkan bahwa dalam rangka membangun imperium global, berbagai korporasi global, bank, dan pemerintahan bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka.

Pada prinsipnya korporatokrasi bekerja hampir sama dengan sistem kapitalisme bekerja. Akan tetapi, korporatokrasi tidak hanya menggunakan modal yang dia miliki untuk terus melakukan pengakumulasian modal. Lebih lanjut korporatokrasi juga menggunakan elemen-elemen lain selain elemen kapitalisme itu sendiri. Dengan kata lain, korporatokrasi merupakan metamorphosis kapitalisme yang berkembang terus dalam proses dialektika dan seleksi alam yang menyertainya.

Setiap unsur dalam korporatokrasi bekerja erat satu sama lain guna membentuk suatu sistem yang menguntungkan mereka. Korporasi besar itu sendiri awalnya hanya bergerak dalam wilayah negara induknya saja. Namun kemudian, mereka melakukan ekspansi dan eksploitasi ke negara lain dengan tujuan untuk memperbesar akumulasi keuntungan.

Bagi mereka, kapitalisme tidak mengenal batasan batas negara. Juga tidak mengenal sistem nilai. Satu-satunya nilai yang diakui adalah hasrat akumulasi modal itu sendiri untuk memperbesar profit. Jalan apapun akan mereka tempuh untuk meraih tujuan itu. Maka dari itu, sejak dari dulu, pada masa VOC, misalnya, korporasi-korporasi besar melakukan penjajahan terhadap negara-negara Dunia Ketiga. Di antaranya Indonesia. Caranya dengan melakukan pendudukan langsung atau dengan pengaturan regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan dari negara itu agar menguntungkan korporasi. Cara kedua itu dipermudah oleh elit birokrasi negara berkembang, termasuk Indonesia yang bermental komprador. Mereka tak segan menelorkan regulasi dan kebijakan yang jelas-jelas memihak korporasi tersebut karena pembuat kebijakan itu sendiri sudah tidak tahu siapa dirinya.

Pada masa sekarang, langkah itu juga dilakukan dengan bantuan lembaga-lembaga perbankan internasional (khususnya IMF dan World Bank). Lembaga-lembaga itu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada korporasi-korporasi besar tersebut. Negara sasaran di Dunia Ketiga harus mematuhi kebijakan lembaga internasional itu dengan dalih ketaatan pada perjanjian internasional.

Tujuan mutlak korporasi adalah mencapai keuntungan maksimal dengan biaya minimal dan waktu minimal. Tak peduli bila hal itu sangat merugikan negara. Penelitian di AS menunjukkan bahwa kejahatan kerah putih (white collar crime) yang dilakukan oleh mereka telah merugikan negara sebesar 300-500 miliar US dollar pertahun. Jika diperbandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kejahatan biasa (street crime), ada perbedaan yang sangat signifikan. Kejahatan biasa hanya membuat rugi 3,8 milyar US dollar pertahun. Belum lagi jutaan bahkan miliaran US dollar keuntungan yang didapat dari pengurasan sumberdaya alam di negara Dunia Ketiga yang terikat kontrak dengan korporasi-korporasi besar tersebut.

Dampak bagi negara Dunia Ketiga yang menjadi obyek korporatokrasi sangat jelas. Sumberdaya alam yang ada di negara tersebut tidak bisa dinikmati oleh rakyatnya sendiri. Padahal mereka amat memerlukan dana besar untuk biaya pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur dan lainnya. Walhasil, meski negara mereka kaya, kondisi pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lainnya tetaplah memprihatinkan. Sebaliknya, elit politik mereka dan mereka yang menjadi bagian dari korporatokrasi menikmati gelimang kekayaan yang luar biasa.

Nah, dalam sistem sekular saat nilai-nilai Islam dan ukuran halal-haram dalam politik diabaikan, yang dominan adalah nilai-nilai pragmatisme demi kekuasaan (power) dan uang (money) belaka. Kekuasaan diraih untuk mengumpulkan uang. Dengan uang itu kemudian kekuasaan dipertahankan. Power for money. Money for power. Begitu seterusnya. Untuk itu, semua cara akan dilakukan. Tak penting apakah itu merugikan negara atau tidak. Tak peduli juga, apakah itu membahayakan negara atau tidak. Jadi, masihkah percaya, pemerintah benar-benar akan bertindak sebagai Pelindung Negara?

Posting Komentar

0 Komentar