Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

IRFAN DAN BURUNG DARA


Oleh: Muslihah Saiful

Sinar matahari tak lagi menusuk kulit pertanda hari menjelang petang, saat Pak Rudi mendorong gerobak buah menuju rumah. Belum sampai perbatasan kampung ia melihat ramai orang di pematang sawah. Ia baru kali itu lewat jalan ini. Biasanya ia lewat jalan besar, tapi kali ini ia mencoba lewat jalan pintas di belakang balai desa.

Sedang heran dan bertanya dalam hati ada apa orang-orang di sore hari beramai-ramai di sawah, ia berpapasan dengan Irfan. Seorang pemuda berusia dua puluh tahunan, dengan membawa burung dara.

"Eh, Pak Rudi, tumben lewat sini? Biasanya kan lewat jalan raya?" sapa Irfan kepada Pak Rudi.

"Iya, Fan. Mencoba lewat sini, siapa tahu dapat rezeki. Eh, rezeki ketemu kamu di sini. Hehe."

"Pak Rudi bisa saja."

"Eh, Fan, itu ada orang ramai di sana. Mereka sedang apa, ya? Sore-sore kok di sawah, apa sedang panen, ya? Tapi panen apa?"

"Hadeh, Pak Rudi. Makanya gaul, Pak, biar tidak kudet."

"Kudet itu apaan, Fan?"

"Hahaha." Irfan malah tertawa. Yang ditertawakan bengong.

"Kok, ketawa, Fan? Ada yang lucu, ya?"

"Iya, Pak Rudi itu yang lucu. Kudet itu kurang up date, Pak."

Dua orang pemuda berboncengan mengendarai motor melintas dengan membawa burung dara dalam genggaman yang dibonceng.

"Hehe, begitu, ya, Fan. Maklum sudah tua, Fan. Gak gaul dan gak up date. Lagi pula saya juga relatif masih baru di sini, baru tiga bulan," ujar Pak Rudi sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Jadi mereka sedang apa?" lanjutnya.

"Hari ini sedang ada adu burung dara, Pak. Lumayan sebagai hiburan."

"Oh. Makanya kamu juga bawa burung dara, ya, Fan? Berarti kamu juga ikut mengadu burung?"

"Ya, iyalah. Siapa tahu beruntung, burungku menang."

"Terus?"

"Kalau menang, dapat juara satu, kan dapat hadiah, Pak. Selain itu harga burung pemenang lomba bisa naik tinggi."

"Oh, begitu. Wah banyak juga, ya, pesertanya. Ramai banget."

"Tidak juga, Pak. Tidak semua yang ada di sana itu, peserta. Ada yang cuma nonton, ada yang memberi support teman atau keluarga, ada juga yang taruhan. Nah, yang terakhir ini yang banyak."

"Taruhan? Judi, dong?"

"Bukan judi, Pak. Cuma menang-menangan. Siapa yang tebakannya benar ia dapat hadiah. Dan siapa yang tebakannya salah ia yang memberi hadiah. Seru, kan? Jadi bukan judi. Gak pakai kartu, kok."

"Fan, Irfan. Kamu kok naif sekali. Ya, itu juga judi. Taruhan itu judi."

"Masa, iya, Pak? Dosa, dong?"

"Ya, iyalah. Coba lihat ini!" Pak Rudi membuka Al Qur'an terjemah yang selalu dibawa kemana-mana.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

اعوذ بالله من الشيطان الرجيم
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَا لْمَيْسِرُ وَا لْاَ نْصَا بُ وَا لْاَ زْلَا مُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَا جْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung." (QS. Al-Ma'idah 5: 90)

"Allah menyebutnya sebagai perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Bukankah itu sebagai indikasi bahwa judi, mengundi nasib dan berkurban untuk berhala itu dilarang keras oleh Allah. Dengan kata lain itu perbuatan haram."

Pak Rudi seorang guru Al-Qur'an di rumahnya. Beliau mengajar anak-anak tetangga saat bada Maghrib.

"Pak, buahnya satu potong, berapa?" Tiba-tiba seorang gadis sudah ada di dekat mereka.

"Oh, dua ribuan, Mbak. Tinggal tujuh potong terakhir, ambil semua, Mbak! Sepuluh ribu saja."

"Beneran, nih, Pak? Boleh, deh."

Pak Rudi segera memasukkan potongan buah yang ada ke dalam plastik kresek putih, yang memang disiapkan untuk membungkus buah. Gadis itu segera berlalu usai mengangsurkan uang sepuluh ribuan.

"Alhamdulillah. Eh, kamu, kok, masih di sini? Bengong. Katanya mau ikut lomba? Atau mau belajar jadi penjual buah?" canda Pak Rudi.

"Pak Rudi bisa saja. Saya lebih tertarik dengan penjelasan Pak Rudi. Untuk adu burung dara, bisa lain kali." Irfan berbicara sambil mengelus-elus kepala burung dara yang ada di tangannya.

"Terus, kalau yang taruhan itu sama dengan judi, dosa. Yang ikut lomba tidak dosa, kan, Pak?"

"Pertanyaan orang cerdas," puji Pak Rudi.

"Orang yang ikut lomba dalam hal adu burung dara itu kelak akan masuk neraka dan di adu oleh hewan aduannya. Ini burung daramu akan dijadikan Allah besar banget. Seperti kamu terhadap burung daramu itu. Dan kalau kamu tahu bahwa perlombaan ini juga sebagai ajang taruhan atau judi, dan kamu masih terus saja ikut, maka kamu juga dapat kecipratan dosa mereka."

"Apa benar demikian, Pak? Waduh kalau begitu, gak usah, deh. Ayo kita pulang saja! Tuh, lihat! Gerobakmu juga sudah kosong." Irfan berkata sambil beranjak berjalan sambil ikut mendorong gerobak.

"Menurut Pak Rudi, burung dara saya diapakan, ya? Kalau dijual kawatir dipakai aduan," tanya Irfan galau sambil berjalan pulang.

"Ya, Nak Irfan. Kan bisa dijual ke orang jual burung dara goreng, atau dimasak sendiri."

"Eh, iya, ya. Kalau begitu saya jual ke penjual burung dara goreng saja, Pak. Saya masih bisa beternak burung dara, sekaligus menjadi bisnis. Doain lancar, ya, Pak!"

"Alhamdulillah. Semoga bisnis barumu lancar dan barokah. Menjadi rezeki yang halal dan semakin disayang Allah."

"Aamiin."

Mereka berpisah di pertigaan jalan, sebab arah rumah mereka berbeda.

Posting Komentar

0 Komentar