Oleh: Muslihah
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اعوذ بالله من الشيطان الرجيم
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوْكُمْ بِا لشَّرِّ وَا لْخَيْرِ فِتْنَةً ۗ وَاِ لَيْنَا تُرْجَعُوْنَ
"Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya kepada Kami." (QS. Al-Anbiya 21: Ayat 35)
Hari itu aku dan suami mengunjungi perumahan tempat tinggal kami, yang sementara ini dikontrakkan. Hal itu karena saat ini kami harus menemani kedua orang tua yang sudah semakin renta di kampung halaman. Sebenarnya tujuan utama adalah mengunjungi makam ayah suami yang tak jauh dari perumahan. Beliau menjadi tanggungan kami sedikitnya tiga bulan menjelang berpulang. Maka beliau dimakamkan di pemakaman perumahan. Bersyukur saat itu kami dipermudah oleh tokoh di situ. Alhamdulillah.
Hari itu saat kami berkunjung, mampir ke beberapa tetangga lama usai dari makam ayah mertua. Saat itu kami mampir ke rumah mantan RT yang rumahnya tak jauh dari rumah kami. Kami berbincang sejenak menanyakan kabar, berbasa-basi sekaligus melepas kangen, sebab lama tidak berjumpa. Tak lupa kami juga mampir ke rumah RT baru, yang dulu cukup dekat dengan suami.
Dari mereka berdua kami mendapat kabar jika salah satu warga perumahan di RT sebelah meninggal kemarin sore. Kami pun sepakat untuk bertakziah ke sana. Sebagai buah tangan kami membeli gula dan minyak goreng. Bertemu dengan ibu pemilik warung, kami berbincang sejenak.
"Lo, Bu Saiful. Kapan ke mari?"
"Baru saja, Bu. Habis mengunjungi makam Bapak, eh, kok mendengar Bujemani meninggal. Ya, sekalian takziyah."
"Oh iya, benar. Beliau meninggal kemarin. Pagi ini Bu Marsono meninggal, juga. Jenazah masih di rumah sakit."
"Inna lillahi wa Inna ilaihi Raji'un. Kalau begitu kami beli dobel. Sekalian nanti takziyah ke sana juga. Apalagi kami sangat mengenal dekat putra mereka."
"Baik, Bu." Ibu pemilik warung segera membungkus pesanan kami.
Suami segera menyalakan motor. Aku pun bergegas naik di boncengan. Kami menuju rumah duka dengan mengendarai motor, meskipun sebenarnya rumah duka tidak jauh. Kami berbincang sejenak dengan keluarga yang berduka.
"Lho, kok Pak Saiful tahu?" tanya suami Bujemani saat kami mengucap salam.
"Iya, Pak. Tadi kebetulan mengunjungi makam Bapak."
"Oh, iya, ya. Bapak jenengan dimakamkan di sini, ngge?"
"Iya."
Kami berbincang sejenak dengan keluarga yang berduka, kemudian pamit.
"Maaf, Pak. Kami akan takziyah ke Bu Marsono sekalian mumpung di sini."
"Maksudnya Bu Marsono meninggal?" tanya suami Bujemani.
"Saya dengar begitu, Pak."
"Inna lillahi wa Inna ilaihi Raji'un. Beberapa hari ini banyak orang meninggal secara berturut-turut," gumamnya.
"Kalau begitu kami pamit lebih dulu."
"Oh iya. Mohon maaf, dan mohon doakan semoga yang meninggal diampuni dosa-dosanya."
"Aamiin." Kami mengucapkannya bersamaan.
Kembali kami mengendarai motor. Kali ini memang agak jauh jaraknya.
Sampai di rumah duka yang kedua, aku bertemu beberapa ibu-ibu yang bertakziah. Diantara mereka ada yang sudah kami temui di sekitar rumah kami, sebab mereka tentang satu RT. Sebagian yang lain heran saat menemukan aku di situ. Sebab hari itu masih cukup pagi, kami yang dari luar kota sudah sampai lebih dulu. Diantara mereka ada teman sesama pengabdi TPQ, saat aku masih di perumahan itu. Suasana di rumah duka jadi berwarna.
Setelah kami jelaskan jika kami usai mengunjungi makam ayah suami, mereka jadi maklum. Hari itu menjelang bulan Ramadhan. Sudah menjadi tradisi mengunjungi makam leluhur dan kirim doa kepada mereka di saat seperti itu.
0 Komentar