Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

HADIAH


Oleh: Muslihah

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

اعوذ بالله من الشيطان الرجيم
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ بِمَاۤ اٰتٰٮهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖ هُوَ خَيْـرًا لَّهُمْ ۗ بَلْ هُوَ شَرٌّ لَّهُمْ ۗ سَيُطَوَّقُوْنَ مَا بَخِلُوْا بِهٖ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ ۗ وَ لِلّٰهِ مِيْرَا ثُ السَّمٰوٰتِ وَا لْاَ رْضِ ۗ وَا للّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
"Dan jangan sekali-kali orang-orang yang kikir dengan apa yang diberikan Allah kepada mereka dari karunia-Nya, mengira bahwa (kikir) itu baik bagi mereka, padahal (kikir) itu buruk bagi mereka. Apa (harta) yang mereka kikirkan itu akan dikalungkan (di lehernya) pada hari Kiamat. Milik Allah-lah warisan (apa yang ada) di langit dan di bumi. Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 180)

Pak Marijan orang yang cukup kaya. Sawahnya banyak. Buruh tani yang bekerja kepada Pak Marijan tak terhitung. Beliau terpandang di desa Jatisari. Desa yang masih asri dengan mayoritas penduduk sebagai petani. Sawah membentang sejauh mata memandang. Jika mereka bukan pemilik sawah mereka tentu buruh tani. Kehidupan sederhana menjadikan mereka saling membantu satu dengan yang lain.

Hari ini ia berniat memberi sebuah sarung untuk Surip, salah satu buruh tani yang bekerja kepadanya. Saat melipat sarung suaminya yang cukup banyak, Saripah mengingatkan.

"Pak, sarung yang mana yang mau diberikan kepada Surip? Ia kemarin yang membantu ibu nyelep gabah," ucap Saripah sambil mengangsurkan tumpukan sarung terlipat. Saat itu Pak Marijan sedang santai membaca koran pagi.

"Kanggo Surip, yo? Ngko disek," jawab Pak Marijan menerima setumpuk sarung yang sudah rapi terpipat. Kemudian membuka satu persatu sarungnya.

"Ah, ini masih bagus. Jangan yang ini. Ini masih bisa dipakai untuk kondangan," gumamnya sambil membuka sarung yang berwarna hitam bermotif kotak-kotak. Beliau meletakkan sarung asal-asalan, yang tadi sudah dilipat dengan rapi.

"Ah, yang ini masih bisa dipakai menengok orang di sawah. Jangan yang ini, eman." Pak Marijan meletakkan sarung hijau yang sudah dibuka lipatannya. Beliau mengambil sarung yang lain lagi.

"Ini saja untuk Surip. Wong Surip orang gak punya saja. Dikasih yang seperti ini pasti berguna baginya. Ia pasti senang menerima hadiah dariku." Pak Marijan melipat sebuah sarung, yang telah dipilih. Dibungkusnya sarung pilihan dengan koran yang ada di dekatnya.

"Bu, ini kasihkan Surip!" kata Pak Marijan kepada sang istri sambil mengulurkan sebuah sarung yang telah rapi dibungkus koran.

"Sudah memilihnya? Ini? Yakin?"

"Iyo."

Saripah bergegas menuju ladang mengendarai motor matic kesayangan. Ia tak mengecek lagi sarung macam apa yang dihadiahkan kepada buruhnya. Ia percaya kepada sang suami. Toh sarung yang dimiliki sangat banyak. Berkurang satu tak akan terasa. Ia tahu hari ini Surip sedang memanen timun di ladangnya.

"Surip, ini dari bapak. Terimakasih kemarin sudah membantuku," ucap Saripah sambil mengulurkan bungkusan koran yang diterima dari sang suami.

"Oh, ngge, Bu. Matur nuwun." Diterimanya bungkusan dengan senang hati. Ia letakkan di sebelah kendi, tempat air minum yang terbuat dari tembikar. Saripah pun berlalu. Ia pulang kembal mengendarai motor.

Surip mengantarkan kepergian majikannya dengan pandangan mata. Saat itulah melintas Pak Karjo dengan mengendarai sepeda angin yang penuh kayu bakar. Rupanya ia habis memungut kayu bekas pohon roboh beberapa waktu lalu. Kemarin Pak Karjo sudah membantunya membetulkan pagar rumah. Ia tak memberi apa pun. Hadiah dari Pak Marijan tentu pantas diberikan kepada Pak Karjo.

"Pak Karjo!" serunya sambil berteriak agar suaranya sampai kepada Pak Karjo yang cukup jauh dari tempatnya berdiri. Pak Karjo pun berhenti dan turun dari sepeda anginnya.

"Ono opo?"'

"Ini untuk jenengan. Terimakasih kemarin sudah membantu saya, betulin pagar."

"Oh, Iyo. Matur nuwun, yo. Iki tak terima."

"Njeh, sami-sami."

Pak Karjo hendak mengayuh sepedanya saat matanya menangkap Yu Lastri yang sedang memetik bayam. Tetangga depan rumah itu sering memberikan sayur ataupun lauk pauk kepada istrinya. Ia mengayuh sepeda menghampiri Yu Lastri, sedang bungkusan masih di tangan kanannya.

"Yu, ini dapat rezeki. Diterima, ya!" katanya sambil mengulurkan bungkusan koran itu.

"Wah. Niki kagem kulo, Pak? Alhamdulillah rejeki. Matur nuwun, Pak." Gembira hati Yu Lastri menerima hadiah.

Ia pun melanjutkan memetik bayam. Sementara bungkusan koran ia taruh hati-hati di sepeda anginnya. Alat transportasi yang murah tanpa bahan bakar minyak. Kalau jalan kaki dari rumah ke ladang cukup jauh. Saat ia berdiri hendak pulang, sebab dirasa bayam yang ia butuhkan sudah cukup. Ia melihat Pak Jito menuntun sepeda anginnya yang penuh dengan rumput. Rupanya ia usai menyabit rumput untuk pakan ternak.
"Pak Jito!" seru Yu Lastri. "Ini ada rejeki untuk Pak Jito. Matur nuwun, kemarin sudah benerin genteng bocor saya. Pean sampai basah kehujanan pas benerin genteng bocor."

"Matur nuwun, Yu. Semoga Gusti Allah membalas dengan rejeki yang lebih baik."

"Aamiin."

Pak Jito berlalu dari hadapan Yu Lastri. Ia ingat kepada Pak Marijan yang telah memberi pinjaman uang, saat anaknya harus opname.

"Hadiah ini, pasti pantas kuberikan kepada Pak Marijan. Yu Lastri kalau ngasih biasanya sesuatu yang bagus. Ah, sudahlah. Terserah apa isinya. Dapat hadiah, ya kuhadiahkan kembali." Demikian yang ada dalam benak Pak Jito. Dikayuhnya sepeda menuju rumah Pak Marijan.

"Assalamualaikum." Pak Jito mengetuk pintu yang terbuka.

"Wa alaykumussalam." Terdengar jawaban dari dalam rumah.

"Oh, Pak Jito. Ada yang bisa saya bantu, Pak?" tanya Saripah ramah.

"Mboten, Bu. Cuma mau ngasih ini untuk Pak Marijan. Terima kasih anak saya sudah lebih baik sekarang. Maaf belum bisa membayar hutang".

"Oh. Ngeh, Pak. Gak masalah. Nanti kalau sudah ada rejeki saja. Ini buat Bapak?"

"Nggeh, Bu. Matur nuwun."

Mungkin Pak Marijan memberikan sarung yang dibungkus dengan koran itu dengan hati yang benar-benar ikhlas, hingga banyak orang dibikin bahagia. Namun kembali lagi kepadanya.

"Pak, ini dari Pak Jito. Ia bilang matur nuwun sudah bantu kasih utangan. Anaknya sudah lebih baik, katanya." Saripah mengulurkan bungkusan koran itu.

"Ooh. Teko Pak Jito? Iyo, kene." Usai memberikan bungkusan itu Saripah berlalu meninggalkan suaminya. Ia melanjutkan pekerjaan yang tertunda.

Pak Marijan geleng-geleng kepala saat menyadari bahwa sarung bolong akibat terbakar setrika yang diberikan untuk Surip, kini kembali kepadanya.

Posting Komentar

0 Komentar