Oleh: Muslihah
"Den korden korden."
Itu suara seorang lelaki dengan mengayuh sepeda angin pelan-pelan memasuki sebuah perumahan. Telah dilewatinya berpuluh-puluh rumah, namun tidak seorang pun yang menghentikan atau memanggilnya walau sekedar bertanya harga. Kemarin ia hanya mendapat dua orang yang membeli dagangannya.
"Den korden korden korden." Ia tak lelah menawarkan dagangannya.
"Bang! Korden!"
Terdengar seseorang memanggil. Seorang wanita muda mungkin berusia tiga puluan mengenakan daster lengan pendek selutut terlihat melambaikan tangan ke arah Paijo.
"Alhamdulillah," bisik Paijo. Baru ada yang memanggil ia sudah senang. Paolo segera turun dari sepeda anginnya. Sepeda angin yang semula dinaiki ia tuntun mendatangi orang yang memanggilnya.
"Butuh korden, Bu? Ini ada macam-macam. Kalau warnanya tidak cocok, saya bawakan besok...." Ia menunjukkan beberapa korden yang dibawanya.
"Sini, Bang! Saya mau pasang korden di sini."
Wanita itu berbicara sambil mengajak masuk ke rumah.
"Lihat, jendela besar itu. Nah mau saya korden di pasang di situ. Aku pilih warna coklat susu yang berpadu dengan kuning gading, terlihat cantik. Nah di atasnya pakai yang seperti tongkat keemasan, sedang trend seperti ini." Wanita itu menunjukkan foto korden yang dimaksud.
"Sekarang saya tidak membawa yang seperti ini, Bu. Jika ibu berkenan, besok saya ke sini lagi dengan membawa barangnya. Saya ukur dulu berapa panjangnya," kata Paijo sambil mengeluarkan meteran dari tasnya.
Marni memperhatikan tukang korden di depannya. Hidungnya mancung, dengan wajah bersih berkulit kuning Langsat dan alis tebal. Tubuh atletis dengan tinggi sekitar 180 cm.
"Iya, Bang. Ukur dulu! Abang mau minum apa?" tanya Marni sambil menutup dan mengunci pintu.
"Gak usah, Bu," jawab Paijo. "Ini mau panjang ke bawah berapa cm, Bu?"
"Menurut kamu yang berpengalaman memasang korden melihat model jendela dan ruangan seperti ini, yang bagus bagaimana?"
"Rumah Ibu tinggi, ruangan lebar seperti ini, sebaiknya korden panjang ke bawah dua meter... Maaf," ujar Paijo sambil melangkah mundur, menyadari jaraknya dan wanita itu sangat dekat.
"Kok mundur, Bang? Saya sedang memperhatikan, Abang, nih." Wanita itu tiba-tiba mengambil tangan Paijo. Ia bahkan berusaha memeluknya. Beruntung Paijo segera mengelak hingga hampir saja Marni terjerembab jatuh jika tidak ada sofa di sisinya.
"Astaghfirullahal Adzim." Spontan Paijo beristighfar ia terkesiap melihat ada hal yang tidak beres. Wanita ini tak sedang memperhatikan korden atau apa yang ia ucapkan. Ia terlihat sedang bernafsu. Menyadari itu ia segera berlari menuju pintu berharap bisa keluar dan terbebas dari wanita itu. Ia berusaha membuka pintu. Sayangnya satu-satunya pintu keluar itu terkunci. Saat ia membalikkan badannya terlihat wanita itu memandang dengan nyalang.
"Hahaha, kamu mau kemana Abang ganteng? Kenapa takut? Kita bisa bersenang-senang lebih dulu. Mau keluar? Tidak bisa, Sayang."
Wanita itu berkata mendayu-dayu. Paijo sangat ketakutan. Ia tidak takut pada wanita itu. Tapi ia takut pada Tuhannya. Ia teringat dosa besar ada dihadapannya. Meski nafsunya sempat bangkit melihat seksi dan moleknya tubuh wanita itu, apalagi telah satu bulan ia meninggalkan istrinya di kampung, demi mengais rezeki. Akan tetapi ia segera beristighfar. Ia ingat pada Tuhannya.
"Bagaimana ini?" bisik hatinya. "Ya Allah, bebaskan hamba dari wanita ini, hindarkan hamba dari perbuatan nista. Selamatkan hamba dari neraka-Mu Ya Rabb."
Melihat tukang korden ganteng, terpaku sambil memegang handle pintu, Marni mendekat pelan. Wajah Paijo tiba-tiba pucat. Ia merasa perutnya sakit akibat rasa takut berlebihan yang datang.
"Aduh, tiba-tiba perutku sakit, Bu. Bolehkah aku numpang ke toilet?" tanya Paijo dengan tubuh gemetar.
Marni memperhatikan wajah Paijo yang pucat dan tubuhnya gemetar. Ia percaya jika Paijo benar-benar sedang sakit perut.
"Abangku Sayang sakit perut? Mari, Bang! Di sini toiletnya," ujar Marni melenggang ke sebuah pintu.
Paijo bergegas ke toilet. Sambil menunaikan hajatnya ia berpikir bagaimana bisa terlepas dari wanita itu. Cantik, sih, cantik. Tapi ia tidak mau beresiko dengan dosa besar kepada Allah. Tiba-tiba ia mendapat ide. Kotoran di toilet yang baru saja keluar dari perutnya belum ia siram. Sebenarnya melihat saja ia jijik, tapi mau bagaimana lagi. Bismillah semoga Allah meridhoi. Ia mengambil kotoran itu dan diusapnya di atas pelipisnya. Tak dihiraukan bau yang menguar. Ia masih sempat menyiram toilet sebelum keluar.
Saat ia membuka pintu dilihatnya Marni sudah berganti baju dengan baju yang kurang bahan. Ia yang semula penuh hasrat, tiba-tiba merasa jijik melihat kotoran di pelipis Paijo.
"Bang, ih, jorok! Itu ada kotoran di pelipis, Abang. Dibersihkan, gih! Bau!" teriak Marni.
"Ini?" Paijo bertanya sambil mengambil kotoran di pelipisnya dengan tangan, kemudian mengulurkan ke wajah Marni.
"Orang gila! Pergi dari rumahku!" teriak Marni jijik dan tiba-tiba rasa takut menjalari hatinya. Ia takut jika lelaki ganteng di depannya adalah orang gila. Jangan-jangan ia mengamuk dan menganiaya dirinya. Segera ia ambil kunci pintu dan membukanya.
"Pergi! Dasar orang gila, pergi!" teriak Marni.
Dengan tenang Paijo mengambil korden yang berserakan. Ia merapikan dengan tenang namun cepat. Bergegas ia menuju sepeda angin yang setia menunggu di depan rumah. Dikayuhnya cepat menuju masjid terdekat agar ia segera bisa membersihkan wajah.
Untung ia melihat tissue di atas meja tadi. Jadi ia sempat membersihkan tangan dengan tissue sebelum merapikan korden-korden dagangannya. Hingga dagangannya tidak terkena najis. Sambil mengayuh sepeda ia bersyukur kepada Allah dihindarkan dari dosa besar.
"Alhamdulillah Alhamdulillah Alhamdulillah..." ucapnya berulang ulang seiring dengan kakinya mengayuh sepeda hingga sampailah ia di masjid terdekat.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
اعوذ بالله من الشيطان الرجيم
وَهُوَ اللّٰهُ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ ۗ لَـهُ الْحَمْدُ فِى الْاُ وْلٰى وَا لْاٰ خِرَةِ ۖ وَلَـهُ الْحُكْمُ وَاِ لَيْهِ تُرْجَعُوْنَ
"Dan Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, segala puji bagi-Nya di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya segala penentuan dan kepada-Nya kamu dikembalikan." (QS. Al-Qasas 28: Ayat 70)
0 Komentar