Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

POHON MANGGA


Oleh: Muslihah

Juminten dan Juminem bertetangga. Tanah mereka berbatasan satu dengan yang lain. Juminem menanam pohon mangga berjarak satu meter dari batas tanah mereka. Saat bibit pohon mangga itu ditanam memang terlihat cukup jaraknya dari batas tanah. Namun lima tahun kemudian, pohon itu semakin tinggi dan daunnya pun semakin melebar. Tidak hanya sampai di batas tanah bahkan sampai menyeberang ke tanah sebelah.

Daun-daun mangga tidak jarang jatuh di halaman rumah Juminten. Setiap hari ia menyapu membersihkan daun-daun yang berguguran. Tiba saatnya pohon itu berbuah. Ternyata buahnya sangat lebat. Sebagian buahnya bergelantungan di atas rumah Juminten. Sayangnya saat mangga telah tua dan masak, Juminem cuek saja. Ia bahkan tidak membagi buah mangga kepada Juminten kecuali ia jatuh sendiri di tanah.

Saat bertemu Ustazah Farihah, Juminten menceritakan kekesalannya kepada beliau.

"Saya pernah dengar jika dahan pohon yang ada di atas tanah kita itu boleh menjadi hak kita, benarkah dalam Islam demikian, Ustazah? Terus kalau seperti itu bagaimana?"

"Ini adalah akibat dari sekuler kapitalis. Pada sistem ini orang diajarkan meraih untung sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya. Di sisi lain kehidupan dipisahkan dari agama. Maksudnya seakan-akan hukum agama tidak boleh digunakan dalam muamalah sehari-hari. Urusan agama hanya di tempat ibadah, kalau di pasar atau di kantor hukum agama dilupakan. Ini keliru."

"Terus, bagaimana, Ustazah?"

"Rasulullah Saw mengajarkan, "Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah." Ini artinya memberi itu lebih baik dari pada meminta. Kan berbeda dengan orang saat ini. Sekarang kebanyakan orang berharap sering dikasih tapi enggan memberi. Maunya untung di dunia, tidak mengindahkan keuntungan di akhirat. Nah, kalau pemilik pohon dan tetangganya saling memahami hukum Islam, sama-sama beriman dan berharap surga kan enak.

Pernah suatu hari seorang anak yatim yang di depan rumahnya ada pohon kurma tetangga yang menggelantung ke pekarangan rumahnya. Beberapa buahnya jatuh ke halaman si yatim. Ia pun memungut dan memakannya. Pemilik pohon kurma yang pelit itu tidak terima. Ia mengadukan hal itu kepada Rasulullah Saw. Rasul menyarankan agar si pelit memberikan buah kurma yang jatuh di tanah si yatim. Dengan dijanjikan jika mau melakukan maka ia akan mendapatkan surga. Si kikir tetap keberatan. Ia merasa rugi saat kurmanya diberikan gratis ke anak yatim itu.

Seorang sahabat mendengar percakapan si kikir dengan Rasulullah Saw.

"Wahai Rasulullah Saw, apakah itu juga berlaku untukku jika aku yang memiliki pohon kurma itu?" tanyanya antusias.

"Tentu saja, itu berlaku untuk siapa pun."

Sahabat itu menawarkan kepada si kikir agar menukar sebuah pohon kurma yang jadi sengketa itu dengan sebuah kebun kurma yang terdapat seratus pohon kurma. Si kikir dengan gembira menukar sebuah pohon kurma dengan sebuah kebun kurma. Ia merasa untung banyak.

Pohon kurma yang dibeli dengan seratus pohon itu dihibahkan kepada anak yatim itu. Si anak yatim senang, sekarang ia memiliki pohon kurma yang lebat. Pemberinya juga senang sebab ia dijamin masuk surga oleh Rasulullah. Baginya tidak ada yang lebih berharga daripada surga.

"Demikian Mbak Juminten." Ustazah Farihah mengakhiri kisah Rasul. Juminten cuma manggut-manggut.

"Nah, sebenarnya saat jenengan menyapu daun-daun itu bisa menjadi pahala. Niatkan saja sebagai sedekah kepada yang memiliki pohon. Ya meski tidak sedekah uang, ya bisa sedekah tenaga. Kalau si pemilik pohon gak merasa disedekahi, ya, yang ikhlas, minta diberi pahala sama Allah saja. Bukankah sedekah terbaik adalah saat tangan kanan bersedekah tangan kiri tidak tahu? Sedang Allah ada Zat Yang Mahatahu.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
بسم الله الرحمن الرحيم
وَا لَّذِيْنَ اِذَاۤ اَنْفَقُوْا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا وَكَا نَ بَيْنَ ذٰلِكَ قَوَا مًا
"Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar," (QS. Al-Furqan 25: Ayat 67)

"Terimakasih, Ustazah. Lain kali mampir ke rumah, ya. Sekali lagi terima kasih atas ilmunya." kata Juminten.

Posting Komentar

0 Komentar