
Oleh: Yati Azim
Manusia boleh lalai. Manusia boleh tak peduli urusan perbuatannya. Bisa saja ia cuek dengan perbuatan menyelisihinya. Bisa saja ia tak mau repot dengan keputusan salah yang terus ia lakukan. Ya, itu sangat bisa.
Ia ingin bebas tanpa kendali pun silahkan. Seolah-olah di sana ada kebahagiaan yang dikejar. Hingga, ia puas dengan apa yang ia raih. Silahkan!
Dan, itu ranah pilihan. Segala yang ia ridha melakukannya. Ia suka. Ia senang. Tak ada yang boleh mengatur maupun mengurusi. Sekehendak hati.
Jika ada yang mulai mengingatkan akan hakikat hidup. Ada yang datang menasehati iapun boleh tak peduli. Boleh saja jika ia masih senang dengan hal-hal yang menurutnya itu pantas.
Ya, menurut kepantasan yang datang dari manusia. Bisa jadi yang pantas menurut manusia justru menyelisihi standar kepantasan dari Allah SWT. Maka, agar tidak menyelisihi sangatlah penting terlebih dahulu kita paham hakikat penciptaan manusia untuk apa.
Hakikat inilah yang nantinya menentukan kita di akhirat seperti apa. Selayak apa kita masuk surga? Sedangkan dari dunia kita tak mempersiapkan jalan menuju surga. Allah SWT pinta kita takwa, eh justru ingkar. Tak mau takwa urusan ibadah mahdhoh. Tak mau takwa urusan pergaulan. Tak mau takwa urusan transaksi. Dan sebagainya.
Sudahkah kita peka, untuk apa Allah SWT menciptakan manusia? Apakah seumur hidup kita di dunia sekedar untuk hidup saja. Saatnya makan, ia makan. Saatnya tidur, ia tidur. Saatnya menikah, ia menikah. Saatnya melahirkan, ia melahirkan. Saat bekerja, ia bekerja. Dan segala yang ingin ia lakukan.
Ternyata hakikat penciptaan-Nya itu tak semua sesuai standar manusia. Sebab, manusia cenderung sesuka hatinya. Salah jika kita menempatkan standar penciptaan ini kepada manusia. Itu keliru. Manusia lemah, cenderung menambah-nambah dan cenderung mengurangi.
Jika manusia tetap demikian, sungguh ia rugi. Padahal, segala perbuatannya tetap akan dipertanggungjawabkan. Perbuatan sekecil apapun, ia tercatat. Jejak rekam selama manusia di dunia akan menentukan kelayakan kehidupan akhiratnya kelak. Seumur hidup manusia, selama ia di dunia akan tampak kelak dalam kitab yang jelas, Lauh Mahfuzh.
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَىٰ وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآثَارَهُمْ ۚ وَكُلَّ شَيْءٍ أَحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ
"Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (TQS. Yasin: 12)
0 Komentar