
Oleh: Yuliati Sugiono
Salat itu wajib. Kewajibannya diambil dari hukum syara. Hadits juga mengatakan shollu kama raitumuni usholli. Salatlah kalian sebagaimana aku salat. Tidak dikatakan mafhum seseorang itu terhadap salat kecuali dia sudah memahami salat dari rukun-rukunnya, waktu salat dan gerakan-gerakan salat. Dan ada ancaman bila meninggalkan salat. Kalau dikerjakan maka dia sudah melakukan kewajiban dan mendapatkan rida Allah. Yang demikian ini disebut mafhum.
Maka jika seorang muslim konsisten dengan mafhum itu, mengikatkan dirinya dengan mafhum itu, seperti yang diminta mafhum itu, maka mafhum ini sudah menjadi standar bagi tingkah lakunya.
Tapi seorang muslim kadang melanggar mafhumnya, yaitu tidak salat. Tidak konsisten dengan mafhum yang sudah diambil, jadi tidak disiplin. Manusia punya potensi untuk itu sehingga perlu ada idrak silah billah. Ada kesadaran hubungan dengan Allah.
Jika orang ingin merubah tingkah lakunya maka harus diubah mafhumnya dulu karena tingkah lakunya itu mengikuti mafhum. Demikian juga jika ingin merubah kondisi masyarakat, dari jahiliyah menjadi masyarakat islam, maka yang diubah mafhum dari masyarakat itu terlebih dahulu.
Pemikiran mendahului amal, yang terpancar dari pandangan hidup. Beramal untuk mengerjakan suatu perbuatan atau ditinggalkan berlandaskan pada imannya. Inilah makna amal berlandaskan iman. Jika Allah rida dengan amalnya, maka ini yang disebut menggabungkan materi dengan ruh (idrak silah billah).
Sungguh Al-Qur'an telah mengaitkan antara iman dan amal salih.
Ada orang yang telah membunuh 99 orang mendatangi ulama, apa bisa Allah menerima taubatku. Allah tidak mengampuni dosamu. Dibunuhlah ulama ini jadi genap 100 orang yang dibunuh. Datang lagi dia ke ulama yang lain. Ulama itu mengatakan bahwa dia hidup di kampung yang rusak. Pindahlah ke kampung yang lain. Dia meninggal di tengah perjalanan. Maka malaikat berebut dan di ukurlah jaraknya ternyata lebih dekat ke kampung yang baru, sehingga dia masuk surga.
Amal diikat dengan iman maka dia dikuasai oleh suasana iman. Dia memahami amal itu sesuai dengan perintah Khaliq, timbul rasa bahagia, perasaan itulah yang disebut suasana keimanan. Orang yang memberikan harta karena ingin membersihkan atau menyucikan dirinya, bukan untuk balas budi atau kasihan, maka dia mendapatkan rida Allah dan ini tujuan tertinggi.
Ketika seseorang mengikatkan pemikiran dengan iman maka ini termasuk mafhum. Terutama terhadap fakta yang tidak bisa diindra seperti surga dan neraka. Tetapi fakta ini termasuk fakta yang tergambar di benak karena fakta itu disebutkan dalam Al-Qur'an yang qoth'i tsubut qoth'i dilalah.
أَفَمَنْ كَانَ عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِنْ رَبِّهِ وَيَتْلُوهُ شَاهِدٌ مِنْهُ وَمِنْ قَبْلِهِ كِتَابُ مُوسَىٰ إِمَامًا وَرَحْمَةً ۚ أُولَٰئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ ۚ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ مِنَ الْأَحْزَابِ فَالنَّارُ مَوْعِدُهُ ۚ فَلَا تَكُ فِي مِرْيَةٍ مِنْهُ ۚ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكَ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ
Apakah (orang-orang kafir itu sama dengan) orang-orang yang ada mempunyai bukti yang nyata (Al Quran) dari Tuhannya, dan diikuti pula oleh seorang saksi (Muhammad) dari Allah dan sebelum Al Quran itu telah ada Kitab Musa yang menjadi pedoman dan rahmat? Mereka itu beriman kepada Al Quran. Dan barangsiapa di antara mereka (orang-orang Quraisy) dan sekutu-sekutunya yang kafir kepada Al Quran, maka nerakalah tempat yang diancamkan baginya, karena itu janganlah kamu ragu-ragu terhadap Al Quran itu. Sesungguhnya (Al Quran) itu benar-benar dari Tuhanmu, tetapi kebanyakan manusia tidak beriman. (QS Hud : 17).
Maka disinilah pentingnya kita belajar bahasa Arab, agar bisa membuktikan keindahan bahasa Al-Qur'an. Belajar bahasa Arab merupakan kewajiban bagi seorang muslim.
Maka jadilah pemikiran-pemikiran ini berpengaruh pada sikap dan tingkah laku, menjadi mafahim. Sehingga amalnya tidak ada yang sia-sia.
Di dalam amal itu ada qimah atau nilai yang direalisasikan. Ada empat nilai: ruhiyah, madiyah, insaniah dan khuluqiyah. Dengan adanya qimah ini terhindar amal manusia itu dari kesia-siaan.
Jual beli bertujuan untuk mendapat keuntungan atau qimah madiyah (materi). Nilai khuluqiyah atau akhlak bisa dicapai dengan akhlak yang baik, contohnya sabar, memaafkan dan merelakan. Diantaranya juga sifat malu, dermawan, suka berbagi, memuliakan tamu dsb. Akhlak ini baru ketahuan kalau kita sudah bermuamalah dengan orang tersebut.
Sifat lemah lembut terhadap yang lemah, tepo sliro, toleran dalam menjual dan membeli, toleran dalam menagih utang. Baik yang berhutang dan yang menghutangi mendapatkan pahala sunnah.
Dalam berdakwah juga perlu berlemah lembut, karena jika bersikap kasar pasti masyarakat berpaling tidak mau mendekat.
Qimah ruhiyah ada pada aktivitas ibadah seperti salat, zakat, puasa, haji, tilawah Al-Qur'an dsb. Qimah insaniah atau kemanusiaan ada pada aktivitas menolong orang lain misalnya menolong seorang nenek menyeberang jalan, menolong orang yang kecelakaan dan lain-lain.
Seorang muslim ketika dia menyebarkan biji gandum dalam rangka berburu burung, ini qimah madiyah. Tetapi bila menyebarkan gandum untuk memberi makan burung, maka ini termasuk qimah khuluqiyah, menyayangi hewan.
Seorang muslim berniat memiliki qimah dalam amal sehingga terealisasi satu atau beberapa qimah. Misal dalam jual beli itu qimah madiyah, namun ada qimah yang lain ketika berjual beli itu dihiasi akhlak. Jadi ada qimah utama yaitu mendapatkan keuntungan materi.
Qimah insaniah melayani kemanusiaan, membantu korban bencana tanpa memperhatikan ras, agama dan tanpa mengharapkan balasan. Terkadang untuk qimah insaniah seseorang bisa rugi. Contohnya seorang nelayan yang meninggalkan jalanya yang penuh ikan, untuk menolong seseorang yang tenggelam.
Maka qimah ini harus diperhatikan agar kita tidak salah niat, arah dan langkah dalam beramal sehingga tidak sia-sia. Wallahu a'lam bish shawwab.
0 Komentar