Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

ARINI


Oleh: Muslihah

Seorang wanita mengenakan dress selutut, berlengan panjang. Leher baju sedikit lebar sehingga menampakkan perhiasan kalung yang indah berkelas. Tangannya menenteng tas bermerk, yang setiap orang tahu, harga sebuah tas itu setara dengan sebulan gaji sopirnya. Sepatu hak tinggi menyempurnakan penampilan. Sedangkan di pergelangan tangan melingkar jam tangan mahal dan gelang yang indah. Cincin berlian melingkar di jarinya.

Wanita ini turun dari mobil mewah, yang terparkir di halaman restoran. Beberapa teman sosialitanya telah menunggu di dalam. Adriana, Chintya, Laura, dan Pricyl duduk melingkar di sebuah meja yang cukup besar untuk mereka. Saat Arini datang mereka segera menyambut dengan cium pipi kanan kiri.

"Wah, istri pejabat semakin moncer saja, nih," sambut Adriana kepada temannya.

Ia menunjukkan wajah ceria penuh, meski jauh di lubuk hatinya terdapat rasa iri, mengapa dirinya tak seberuntung itu. Bisa makan bareng Arini saja, rasanya sudah merupakan sebuah keberuntungan.

"Waduh, tas baru, nih. Wow, bagus sekali. Enak, ya, jadi istri pejabat, bisa memiliki apa saja yang diinginkan," ujar Chintya tak bisa menyembunyikan kekaguman.

"Dan lihat ini, Gaes! Kalung berlian! Wow, kapan, ya, aku bisa seberuntung Arini," pekik tertahan Laura.

Mereka semua di depan Arini memuja dan menyanjungnya. Sebab mereka tahu Arini sangat suka dengan sanjungan. Dengan begitu, mereka bisa memanfaatkan keberadaan Arini. Makanan yang terhidang di meja makan, akan dibayari olehnya. Mereka bagai semut yang mengelilingi setetes madu.
"Ah, kalian bisa saja," jawab Arini sambil tersenyum.

Hatinya mekar berbunga mendapat sanjungan dari teman-temannya.

"Apa kalian sudah lama?" lanjutnya basa-basi.

Jelas makanan telah tersaji, menunjukkan mereka sudah di sana beberapa waktu.

"Kamu mau aku pesankan apa?" tanya Pricyl sok baik, padahal nanti yang membayar semua yang terhidang pun Arini.

"Coklat panas saja. Kalorinya sudah cukup. Kalian tahu kan aku harus menjaga tubuh agar tetap slim."

Arini berbicara dengan penuh percaya diri.

"Kamu dari sononya sudah cantik dan slim. Meski habis seberapa banyak pun, gak akan bikin tubuh kamu melar. Arini, gitu, lo."

Adriana tak melewatkan kesempatan untuk menyanjung. Mereka pun bercanda, suka-suka, membahas yang menyenangkan hati mereka. Ah, tidak, yang menyenangkan hati Arini, agar mereka tak kehilangan orang yang bisa menyenangkan mereka, sambil menghabiskan hidangan mahal yang harganya belum tentu akan terjangkau oleh kantong mereka.

Setelah satu jam Arini membayar semua tagihan. Mereka pun keluar dari restoran itu. Adriana, Chintya, Laura dan Pricyl masuk ke satu mobil. Sedangkan Arini memasuki mobil yang ditunggu sopir pribadinya. Sopir bergegas turun saat melihat Arini keluar. Ia segera membukakan pintu penumpang untuk bos cantiknya.

"Sekarang kita ke mana, Bu?" tanya sang sopir.

"Antar aku ke salon biasanya. Aku mau luluran," ujar Arini menjawab pertanyaan sang sopir.

Entahlah, meski habis bertemu dan bercanda tawa dengan teman-temannya, tak ada rasa bahagia saat ia kembali sendiri. Rasa sepi dan hampa menghampiri hati. Arini istri seorang CEO perusahaan terkenal. Salah satu dari sepuluh orang terkaya di propinsi nya. Apalagi sekarang sang suami menjabat sebagai ketua DPRD.

Ia juga seorang putri dari pemilik perusahaan besar. Sayangnya Arini kurang mampu bergaul. Itu sebabnya ia merasa senang saat bersama dengan teman-temannya. Meski harus membayar semua makanan mereka, Arini tak keberatan. Namun ia heran mengapa harinya selalu merasa hampa.

"Aluna, aku boleh tanya sesuatu?" Arini membuka percakapan dengan sang sopir.

Ia melepas kalung, kemudian memasukkannya ke dalam tas. Demikian pula dengan gelang dan cincin berliannya, menyisakan sebuah cincin emas sederhana dan jam tangan. Meski demikian penampilannya tetap terlihat elegan.

"Tentu saja, Bu? Saya akan jawab sesuai yang saya mampu," jawab gadis berkerudung itu sambil melirik spion memperhatikan sang majikan sekilas.

Ia mendapati raut lelah di wajah sang majikan. Aluna menunggu kalimat sang majikan sambil kembali fokus ke jalan.

"Apa kamu bahagia menjadi sopir?" tanya Arini bimbang.

Bagaimana mungkin ia bertanya demikian, sementara ia yang bergelimang harta masih merasa hampa. Arini merasa bodoh sendiri.

"Saya? Tentu saja saya bahagia," jawab Aluna cepat namun tetap sopan.

Jawaban yang jauh dari perkiraan Arini.

"Menurutmu bahagia itu bagaimana?" tanya Arini masih tak yakin. Bagaimana Aluna bisa bahagia? Ia tahu, dengan gaji yang kecil, Aluna harus menghidupi diri dan ibunya yang sakit-sakitan. Tak jarang sang ibu harus masuk rumah sakit.

"Mengapa Ibu bertanya demikian? Apakah Ibu merasa tak bahagia?" tanya Aluna khawatir.

Khawatir jika pertanyaannya dianggap tidak sopan.

"Aku hanya ingin tahu jawabanmu. Bagaimana bahagia menurutmu."

Jalanan yang mereka lalui penuh dengan kendaraan, hingga mobil yang mereka kendarai hanya bisa merambat, bahkan sering berhenti.

"Maaf, Bu. Jika jawaban saya tak sesuai harapan Ibu."

"Iya. Katakan saja!"

"Bagi saya bahagia itu sederhana, bisa melihat Ibu tersenyum, hati saya sudah senang. Saya akan turut sedih saat saya menyadari Ibu sedih. Saya akan bahagia saat pulang kerja, melihat ibu saya sehat, dan menjawab salam saya dengan senyuman."

"Kalau kamu sedang sendiri. Apa kamu juga bahagia?"

"Tentu saja. Namun maaf, ya, Bu. Saya tak pernah merasa sendiri ...."

"Kalau kamu sedang kutinggal di mobil, sementara aku bertemu dengan teman-temanku seperti tadi, kan kamu sendirian?" sahut Arini tak puas.

"Ibu benar. Namun saya selalu bersama doa ibu di rumah. Saya selalu bersama Allah dalam setiap waktu. Karena itu saya tak pernah merasa sendiri," jawab Aluna santun.

"Aku semakin tak mengerti dengan jawabanmu. Coba beri aku kalimat yang mudah aku cerna!"

Sebenarnya Arini semakin tertarik dengan jawaban Aluna.

"Saya ini siapa, toh, Bu? Saya sekolah hanya sampai kelas satu SMA. Karena tak ada lagi biaya untuk beli buku dan seragam sekolah, saya harus mengubur keinginan bersekolah seperti teman-teman. Kalau sekarang saya menjadi sopir Ibu, itu sudah keberuntungan bagi saya, dari pada menjadi pemulung di tempat sampah. Oleh sebab itu setiap Jumat, saat saya tak kerja, saya sempatkan mengaji sama Ustazah Zahra. Bersama ibu saya dan beberapa ibu-ibu tetangga yang lain.

Di situ, saya mendapat pencerahan bahwa bahagia itu adalah saat rida terhadap keputusan dan ketentuan Allah. Rida saya tak bisa melanjutkan sekolah. Rida sebagai tulang punggung keluarga. Rida atas semua yang Allah beri kepada saya dan rida menjalankan kewajiban yang Allah bebankan kepada saya sebagai hamba.

Awalnya saya juga protes, mengeluh dan merasa Allah tidak adil kepada saya. Mengapa ayah dipanggil saat saya masih SD, dan ibu menggantikan tugas ayah setelahnya dengan kehidupan miskin kami. Lalu ibu sering sakit, akibat kelelahan dan beban hidup yang berat. Namun Ustazah Zahra malah datang ke rumah, mengajak saya ngobrol berdiskusi, dan akhirnya saya bisa menerima semuanya.

Sekarang saya selalu bahagia. Dengan bersyukur dan melihat betapa Allah sayang kepada saya dengan semua ketentuannya. Saya bisa kuat menghadapi kehidupan yang keras, justru karena ayah meninggal sejak saya kecil. Dan meyakini bahwa semua adalah yang terbaik untuk saya sudah disiapkan Allah. Maka dengan bersyukur saya selalu merasa bahagia."

Aluna berbicara seolah kepada temannya. Ia seakan lupa jika yang sedang mengajaknya bicara adalah seorang istri CEO dan ketua DPRD, serta seorang putri pengusaha besar. Orang kaya bukan kaleng-kaleng sementara ia hanya seorang sopir. Namun karena ia fokus pada apa yang ia rasakan dan ke jalanan di depannya, Aluna tak tahu jika sang majikan yang duduk di kursi penumpang sedang meneteskan air mata mendengar uraiannya.

Mobil mereka sudah memasuki parkiran mall, karena salon tujuan mereka ada di lantai atas mall itu.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

ÙˆَÙ…َا Ù‡ٰذِÙ‡ِ الْØ­َÙŠٰوةُ الدُّÙ†ْÙŠَاۤ اِÙ„َّا Ù„َÙ‡ْÙˆٌ ÙˆَّÙ„َعِبٌ ۗ Ùˆَاِ Ù†َّ الدَّا رَ الْاٰ Ø®ِرَØ©َ Ù„َÙ‡ِÙŠَ الْØ­َـيَÙˆَا Ù†ُ ۘ Ù„َÙˆْ Ùƒَا Ù†ُÙˆْا ÙŠَعْÙ„َÙ…ُÙˆْÙ†َ
"Dan kehidupan dunia ini hanya senda gurau dan permainan. Dan sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya, sekiranya mereka mengetahui." (QS. Al-'Ankabut 29: Ayat 64)

Posting Komentar

0 Komentar