Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

HIDAYAH


Oleh: Muslihah

"Hey, Bro. Ini tempat orang bekerja. Jangan tidur di sini. Sebaiknya elu tidur di musala. Lagian di sana banyak teman tidur."

Sahid ngomel pada Kris yang tidur di warung kopi sempitnya. Warung kopi Sahid memang hanya sebuah gerobak berukuran setengah kali satu meter, dilengkapi dengan tiga bangku yang mengelilingi untuk pembeli. Sementara kursi plastik ia sediakan untuk dirinya. Dasar Kristianto sedang mabuk, ia asal saja merebahkan tubuhnya. Tak perduli mengganggu orang lain.

Kris yang sedang tak sadar meracau tidak karuan. Sahid sebenarnya sangat terganggu. Ia tahu Kris memang non muslim, maka baginya tak berlaku kewajiban meninggalkan minuman haram itu. Namun tetap tak benar jika ia mengganggu orang lain. Hari sudah larut malam. Waktu sudah menjelang pagi, tepatnya pukul satu dini hari. Sahid memang buka warung sampai subuh.

Tak suka ada orang mabuk di warungnya, Sahid memapah Kris dengan susah payah ke musala, seratus meter dari tempat kerjanya. Biarlah saat subuh nanti diusir keluar dari musala, sebab dipakai salat berjamaah. Ia tinggalkan pemuda itu di teras musala. Sahid khawatir jika pemuda mabuk itu muntah di dalam, tempat orang menjalankan rukun Islam kedua. Itu akan merepotkan banyak orang, harus membersihkan dan mensucikan bekas muntahan.

Saat Subuh tiba dan azan berkumandang. Mereka yang tidur di musala Al Badr segera bangun untuk membersihkan diri, berwudhu dan salat berjamaah. Musala ini menjadi tempat tidur bersama. Dulu tanah ini milik pribadi. Melihat banyak sesama urban yang tak memiliki tempat berlindung yang layak, Fatoni menyulap rumahnya menjadi musala. Ia mempersilakan para urban yang berada di sekitar tempat itu memakainya sebagai tempat istirahat. Meski demikian hanya mereka yang tak bisa membayar kamar kost atau kontrak rumah yang tidur di sana. Sementara Kris yang tidur di teras di biarkan. Sebab mereka tahu Kris tak memiliki kewajiban dua rakaat seperti mereka. Namun Kris bukan tak tahu sama sekali aktifitas mereka.

Dalam tidurnya antara tidur atau sisa mabuk, ia masih mendengar hiruk pikuk di subuh hari itu. Mulai terdengar suara tarkhim, kegaduhan bangun tidur, azan, ikamah dan salat berjamaah. Kris mendengar semuanya. Bahkan saat mereka salat, Kris sempat membuka mata dan melihat indahnya aktifitas mereka melakukan salat berjamaah. Ia terkagum melihat gerakan serempak para makmum jamaah, saat pemimpin mereka bergerak, makmum melakukan gerakan yang sama. Luar biasa indah.

Jam tujuh ia baru bangun, numpang ke kamar mandi musala, baru kemudian ia pulang. Entahlah, apakah orang tuanya tak mencarinya semalam. Sang anak tak pulang sepanjang malam.

"Cak, aku numpang tidur sini, ya? Ntar kalau ada penumpang tolong bangunkan aku," ujar Kris kepada tukang becak.

Ia sengaja pinjam becak sebagai tempat tidurnya malam ini. Ia ingin melihat orang melakukan salat jamaah lagi. Namun ia segan tidur di teras musala lagi. Ia sadar jika itu bukan tempat yang pantas untuknya.

"Mau tidur di becak gue lagi?" tanya Pandi pemilik becak.

Ini sudah malam keempat sejak malam Kris mabuk. Herannya habis itu ia tak lagi terlihat mabuk, namun selalu tidur di becak di depan musala.

"Iya, Cak. Boleh, kan?"

"Elu ngapain, sih, tidur di becak? Kenapa gak pulang saja sih? Apa badan lu gak pegal-pegal, gitu tidur di becak?" Tanya Pandi penasaran.

"Jujur, ya, Cak. Aku suka melihat orang-orang melakukan salat."

"Hahaha. Jika untuk melihat orang salat, elu gak usah repot nginep di becak gue. Setiap hari mereka melakukannya sehari semalam lima kali," celoteh Pandi.

Sebulan berlalu setelah Pandi menertawakan Kris, ia tak pernah terlihat di sekitar musala Al Badr. Hingga sore itu terlihat seorang pemuda mengenakan baju koko putih dipadu dengan celana panjang turut salat jamaah di musala itu. Wajahnya terlihat familiar namun jamaah tak berani memastikan.

"Ini beneran Kris? Aku gak salah liat, kan?" Tanya Sahid saat berjabat tangan usai salat Maghrib sore itu.

Yang ditanya tersenyum lebar sambil menyambut jabat tangan dengan erat.

"Iya, Bro. Elu gak salah liat. Namun yang dihadapan lu ini bulan lagi Kristianto. Sejak gue melafalkan syahadat, nama gue ganti Solahudin Muhammad."

"Masyaallah. Alhamdulillah," ucap Sahid bersuka cita sambil meraih bahu pemuda itu, memeluknya.

"Nama yang bagus. Namun biasanya nama Muhammad sebagai nama depan."

"Ya, biar beda dengan yang lain, hehe."

"Terus, enaknya dipanggil apa, nih? Udin? Gak asik, udah banyak nama itu. Mamat? Juga gak, kece. Solmad, saja, ya? Biar unik." Sahid merasa bahagia mendapat saudara baru.

"Boleh, deh," ujar Kris, eh, Solmad.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

اَفَمَنْ شَرَحَ اللّٰهُ صَدْرَهٗ لِلْاِ سْلَا مِ فَهُوَ عَلٰى نُوْرٍ مِّنْ رَّبِّهٖ ۗ فَوَيْلٌ لِّلْقٰسِيَةِ قُلُوْبُهُمْ مِّنْ ذِكْرِ اللّٰهِ ۗ اُولٰٓئِكَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ
"Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata." (QS. Az-Zumar 39: Ayat 22)

Posting Komentar

0 Komentar