
Oleh: Umi rizkyi
Setiap manusia pasti memiliki cita-cita tertinggi dalam hidupnya. Baik untuk kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat yang kekal abadi nantinya.
Cita-cita untuk kehidupan dunia misalnya menjadi orang sukses, pejabat, pegawai negeri, petani yang sukses, dokter, pilot, polisi dan lain sebagainya.
Apapun caranya pasti akan ditempuhnya. Baik itu hal ringan maupun hal yang berat sekalipun. Misalnya, bagi seorang petani memberikan pendidikan dokter kepada anaknya adalah suatu hal yang berat. Namun ia pasti akan melakukannya, demi tercapainya cita-cita anak mereka. Atau mungkin hal yang teringan misalnya, harus jauh dari anaknya yang selama ini bersama dirinya. Di karenakan harus menimba ilmu kedokteran di tempat yang jauh dari asal tempat mereka tinggal. Sehingga mau tidak mau, antara anak dan orang tua harus memendam dan merasakan rindu akan kebersamaan ketika dulu masih tinggal bersama-sama.
Namun demikian, sebagai seorang muslim hendaklah menjadikan hukum Syara' sebagai standard dalam mengambil keputusan dan bersikap. Ketika ingin mencapai cita-cita dunia, tidak boleh menghalalkan segala cara. Hingga apapun cara dan prosesnya akan ditempuh. Tanpa menghiraukan bagaimana hukum Syara' mengaturnya.
Misalnya contoh di atas. Ingin meraih cita-citanya sebagai dokter, sehingga ia mengambil jalan pintas dan ingin cepat lulus dari sekolah fakultas kedokteran. Akhirnya ia melakukan suap kepada dosen beserta rektor yang mendampingi di universitas tempat ia menimba ilmu kedokteran tersebut.
Padahal dalam Islam, dalam bentuk apapun yang namanya suap adalah haram. ketika seseorang menerima uang selain gaji pokoknya ia bekerja, maka hal itu termasuk suap. Begitu pula ketika dosen, rektor dan mahasiswa melakukan suap-menyuap maka hukumnya adalah haram. Oleh karena itu, sebagai seorang muslim hendaknya harus ditinggalkan. Sehingga akan mendapatkan keberkahan, kebarokahan dan keselamatan dunia-akhirat.
Selain itu, sebagai seorang muslim dalam contoh di atas hendaklah mematuhi dan menaati rosul. Di mana ada hal-hal yang hendaknya dilakukan. Misalnya, seseorang itu hendaknya memiliki adab dulu sebelum berilmu.
Nah, seseorang telah beradab maka ilmu akan dengan mudah diraih dan dikuasainya. sehingga cita-citanya pun akan segera ia dapatkan tanpa harus menempuh jalan-jalan yang kotor dan dilarang agama/Islam.
Selain itu sebagai seorang muslim hendaklah ada dalam sebuah golongan/jamaah yang senantiasa beramal makruf nahi mungkar. Sehingga akan sekali terjaga keimanan dan ketakwaan seseorang. Ketika terlena dan khilaf melakukan kesalahan, maka akan ada teman seperjuangan yang mengingatkan dan menasehatinya. Sehingga akan kembali ke jalan yang benar.
Demikian pula, dalam jamaah hendaknya taat kepada Ulil Amri, di mana mereka adalah pemimpin. Sehingga apa yang menjadi keputusan dan pendapatnya itu adalah yang terbaik dan sesuai dengan hukum Syara'.
Dalam contoh di atas teringat dengan ayat cinta dari Sang pencipta. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا ࣖ
"Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (QS. An-Nisa'[4]: 59).
Semoga kita semua senantiasa istikhamah dalam ketaatan, ketakwaan dan ketundukkan kita kepada Allah SWT. Hingga Allah SWT memanggil kita untuk pulang, sehingga kita menghadapnya dengan bekal yang diridhai Allah SWT. Aamiin.
0 Komentar