
Dengan kekayaan alam yang melimpah, namun tidak mampu membiayai perekonomiannya secara mandiri adalah bukti bahwa bangsa ini masih terjajah.
Secara fisik, penjajahan di negeri ini oleh bangsa lain memang telah tiada. Namun secara realitas, masih ada penjajahan dalam bentuk yang lain.
Fakta terbaru pertemuan Presiden RI Joko Widodo dengan Presiden RRC Xin Jiping pada 29 Juli 2024 lalu yang kemudian menghasilkan kesepakatan pemberian investasi modal sebesar Rp 175 Triliun oleh China untuk Indonesia realitasnya menampakan keterjajahan ini.
Apalagi, sebelumnya Pemerintah Indonesia juga telah menyingkirkan kedaulatan Negara dengan menerrbitkan Hak Guna Usaha (HGU) dengan jangka waktu 190 tahun bagi asing untuk mengelola tanah sebagai lahan usaha di negeri ini.
Mirisnya lagi, dalam pertemuan itu juga berlangsung penyerahan desain ibu kota negara (IKN) baru ke China.
Selain itu, yang semakin menguatkan bukti bahwa bangsa ini benar-benar masih terjajah dan ini juga bukanlah berita baru kalau sumber daya alam (SDA) yang melimpah di negeri ini, yang sejatinya milik rakyat kini banyak diobral sehingga 'dikuasai' swasta bahkan asing.
Inilah yang membuat negeri zamrud khatuliswa tak memiliki modal, melainkan utang negara yang terus menggunung dan penekanan pajak terhadap rakyatnya yang semakin meningkat.
Sadarilah! Sejatinya penyebab semuanya ini adalah berakar dari penerapan sistem Demokrasi Kapitalisme Sekuler yang menolak peran Tuhan (agama) untuk mengatur negara yang telah cukup lama bercokol di negeri ini.
Padahal, kemerdekaan itu sejatinya adalah berlepasnya insan dari penguasaan sesama manusia, menuju penghambaan hanya kepada Tuhannya, yakni melalui penerapan Islam kaffah (syariah) di berbagai bidang kehidupan dalam naungan Khilafah. [] Muhar
0 Komentar