Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

PAMONG INSTITUTE: PENGAWASAN RUMAH IBADAH BERARTI SAMA SEPERTI ZAMAN KOLONIAL


Dalam rapat dengan Komisi III DPR RI, Senin (4/9/2023), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza Dahniel mengusulkan, agar Pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia dengan tujuan supaya tidak menjadi sarang radikalisme karena disinyalir ada beberapa tempat ibadah yang mengkritik Pemerintah.

Merespons hal tersebut, Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky menyatakan bahwa mengawasi rumah ibadah berarti sama seperti di zaman kolonial (penjajahan).

"Mengawasi rumah ibadah, berarti mundur ke belakang seperti zaman kolonial," tuturnya kepada Dakwah Tangsel melalui tulisan yang berjudul "Mau Awasi Rumah Ibadah, Otoriter Seperti Zaman Kolonial?", Rabu (6/9/2023).

Wahyudi menceritakan, di zaman penjajahan Belanda, pesantren dan rumah ibadah diawasi.

"Para tokoh agama (Ulama dan Ustadz) yang tidak berpihak kepada penjajahan Belanda, dituding ekstrimis dan dikriminalisasi," ungkapnya.

Bahkan, lanjut Wahyudi, para Ulama dan Ustadz juga di awasi.

"Apalagi, bagi yang bergelar haji, mendapat pengawasan yang lebih (ketat) dari Pemerintahan Kolonial. Sampai-sampai, pada 1859 muncul ordonansi, peraturan baru yang lebih menyusahkan ibadah haji," kilasnya.

Ia pun mempertanyakan, setelah 78 tahun merdeka, dan para penjajah sudah pergi dari negeri ini. Lalu, kenapa pejabat Pemerintahan Indonesia malah mengusulkan ide yang sama seperti di masa penjajahan dahulu?

"Jika di zaman kolonial dituding (sebagai tempat) ekstrimis, kini rumah ibadah dicurigai sarang radikal. Lalu apa bedanya?," tanyanya.

Iapun mengatakan bahwa kritik pada pemerintah mestinya dipandang sebagai tanda cinta. Bukan dipandang sebagai tanda radikal.

Karena menurutnya, justru dengan kritik itu memberikan 'alarm' tanda bahaya kepada pemerintah jika kebijakannya memang berbahaya atau merugikan rakyat dan Negara.

"Sebaliknya, yang memuja-muji Pemerintah meski kebijakannya tidak pro rakyat, maka itu patut diduga sebagai watak para penjilat yang akan menjerumuskan," terangnya.

Pemerintahan yang baik tambah Wahyudi, tentu akan menjadikan kritik itu sebagai energi positif untuk memperbaiki kinerja dan pelayanan kepada rakyat.

"Jika Pemerintah melayani rakyat dengan baik dan rakyat merasakan kebaikannya, maka yang akan keluar justru pujian, bukan kritikan," terangnya.

Wahyudi kemudian menegaskan, "sederhananya, Pemerintah cukup melayani rakyat dengan baik, mencerdaskan, menyehatkan dan menyejahterakan, maka rakyat akan menikmatinya dan memujinya," tegasnya memungkasi. [] Muhar

Posting Komentar

0 Komentar