
Pakar Riset Sistem Informasi Spasial Prof. Dr. -Ing. Fahmi Amhar menyatakan, Indonesia mengalami penurunan kontribusi industri terhadap perekonomian negara (deindustrialisasi).
"Indonesia, waduh nih susah ini! Sekarang ini ya, karena kita ini justru dalam 25 tahun terakhir sejak reformasi itu mengalami deindustrialisasi," ujarnya dalam Kabar Petang: Ternyata Ini Alasan Indonesia Masih Jadi Negara Konsumen Teknologi, di kanal YouTube Khilafah News, Kamis (8/8/2024).
Menurutnya, sumber daya manusia Indonesia banyak yang tidak berminat di bidang teknologi, karena banyak peluang kerja lain yang dianggap lebih cepat menghasilkan.
"Jadi Youtuber misalnya. Kan banyak anak-anak muda itu pengennya jadi Youtuber aja lah, jadi Marketer Online saja lah," kata Fahmi.
Bahkan yang telah belajar teknologi, ungkap Fahmi, tidak mudah menghindari godaan masuk ke dunia politik (praktis demokrasi).
"Kayaknya kalau masuk politik itu cepat sekali bisa mengumpulkan kekayaan atau menjadi pesohor di negeri ini dibanding ilmuwan," ketusnya.
Jadi menurut Fahmi, dalam bidang sains dan teknologi, Indonesia dapat dikatakan 25 tahun terakhir ini jalan ditempat.
"Ada kemajuan, tetapi sedikit sekali, tidak berarti dibandingkankan dengan loncatan yang terjadi di China," nilainya.
Fahmi menandaskan, China selama 25 tahun istilahnya sudah melakukan seribu langkah, sementara Indonesia mungkin baru sepuluh langkah. "Iya maju juga, tetapi banding seribu ya," tandasnya.
Padahal, ungkapnya, pada tahun 90-an perindustrian Indonesia dalam banyak hal masih sedikit lebih baik dari China.
"30 tahun yang lalu, meskipun China jelas sudah maju dalam bidang teknologi ruang angkasa atau nuklir, tetapi dalam banyak bidang yang lain kita waktu itu tahun 90-an masih banyak yang lebih unggul dari China," nilainya.
Fahmi pun menyebut bahwa 30 tahun terakhir ini industrialisasi China lari sangat kencang. Sedangkan Indonesia, masih ribut dengan persoalan politik dan persoalan hoaks yang tidak produktif. "Sekarang judi online," bebernya.
Revolusi Tiga Hal
Agar Indonesia memiliki kedaulatan teknologi, serta memiliki peran industri yang besar di pasar internasional, Fahmi lantas menjelaskan bahwa harus ada perubahan total dan mendasar (revolusi) dalam tiga hal
"Harus ada revolusi. Saya kira reformasi gak cukup. Revolusi pada setidaknya tiga hal. Dan ini yang juga terjadi di China," ujarnya.
Pertama, sebut Fahmi, yaitu revolusi budaya.
Budaya di Indonesia ini, menurutnya, banyak terlalu menghargai orang-orang yang begitu cepat atau instan meraih kekayaan.
"Bahkan sekarang meraih gelar. Orang ingin meraih gelar Professor dengan instan, Doctornya juga gak jelas dari mana, tiba-tiba jadi Professor. Nah itu harus kita ubah," ajaknya
Jadi, terang Fahmi, budaya instan itu harus diubah, diganti dengan budaya kerja keras, tekun dan disiplin.
Kedua, mencari teladan dari tokoh-tokoh.
Hal ini, kata Fahmi, berkaitan dengan mempopulerkan teladan-teladan yang positif.
"Termasuk mempopulerkan kalau ada produk-produk budaya, sinetron atau film yang meningkatkan cara berpikir yang lebih baik, rasional ilmiah dan cara berbudaya yang lebih tekun," ulasnya.
Jadi imbuhnya, bukan mempopulerkan atau mengekspos tentang selingkuhan dan kaya mendadak.
"Sekarang kan di televisi yang paling banyak itu. Di Youtube juga kan yang paling banyak like nya yang kayak gini-gini ya! Yang tidak mendidik," ungkapnya.
Ketiga, yang tidak boleh dilupakan, tegas Fahmi adalah peran negara.
Dan inilah, ungkapnya, apa yang teradi di China. Selain ada adopsi teknologi yang cepat dari rakyatnya, termasuk budaya mereka yang cepat sekali mengadopsi e-commerce dan transportasi berbasis aplikasi, juga adanya dukungan pemerintah (negara) yang luar biasa.
"Di Cina itu ada dukungan pemerintah pada program nasional Made in China 2025. Itu digaungkan sejak 20 tahun yang lalu," pungkasnya. [] Muhar
0 Komentar