Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

TEFI: PERPRES TERKAIT HGU LAHAN IKN LEBIH BURUK DARI ATURAN KOLONIAL


Direktur The Economic Future Institute (TEFI) Dr. Yuana Tri Utomo menyatakan, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 terkait pemberian izin Hak Guna Usaha (HGU) di lahan Ibu Kota Nusantara (IKN) hingga rentang waktu 190 tahun kepada investor lebih buruk dari aturan kolonial.

"Peraturan ini lebih buruk dari aturan kolonial," ujarnya dalam program Kabar Petang: Penguasaan Lahan Oleh Swasta dan Asing Haram dan Berbahaya, di kanal Youtube Khilafah News, Jumat (19/7/24).

Karena, ia menjelaskan, pada era penjajahan di tanah air dahulu, undang-undang agraria kolonial hanya memberikan hak kepada investor untuk mengelola lahan perkebunan paling lama 75 tahun.

"Sebaliknya, di era kemerdekaan ini pemberian HGU ke investor asing malah 190 tahun, nyaris dua abad," sebutnya.

Yuana melanjutkan, meski Pemerintah Republik Indonesia (RI) berdalih bahwa lahannya masih milik negara, namun pemberian HGU dalam jangka panjang ini membahayakan kedaulatan negeri.

"Tentu, selama sepanjang 190 tahun itu, pihak asinglah yang berkuasa di atas lahan tersebut," tuturnya.

Akibatnya, jelas Yuana, segala kekayaan alam yang ada di dalamnya selama itu tidak bisa dimanfaatkan oleh rakyat.

"Ya, sudah sering terjadi itu, rakyat seperti nelayan dilarang mendekati kawasan yang dikuasai asing, meski hanya sekadar berlayar atau mencari ikan saja. Jadi ini memang betul-betul lebih parah dari masa kolonial penjajahan VOC dulu," sesalnya.


Legal

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) secara resmi telah memberi izin hak guna usaha (HGU) bagi para investor di Ibu Kota Nusantara (IKN) dengan jangka waktu paling lama mencapai 190 tahun.

Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2024 tentang Percepatan Pembangunan Ibu Kota Nusantara yang diteken Jokowi pada 11 Juli 2024.

Pasal 9 Perpres tersebut menyebutkan bahwa pemberian HGU hampir 2 abad bagi para investor IKN akan dilakukan melalui dua siklus.

"Hak guna usaha untuk jangka waktu paling lama 95 tahun melalui satu siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk satu siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 95 tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi," demikian bunyi Pasal 9 ayat 2a pada beleid tersebut.


Konsep Islam

Sementara itu, mengenai konsep Islam dalam mengatur pengelolaan lahan, Yuana memberikan lima catatan.

Yang pertama, sebutnya, lahan atau tanah adalah termasuk harta kepemilikan pribadi (al-milkiyah al-fardhiyah). Islam mengizinkan setiap individu memilikinya untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan mereka. Misalnya untuk hunian, tempat usaha, sawah, ladang, dan sebagainya.

"Jadi setiap individu warga negara muslim maupun nonmuslim berhak memiliki lahan, baik tanahnya maupun lahan dalam arti sekadar hak guna usaha," jelasnya.

Kedua, lanjutnya, negara (khilafah) memiliki otoritas atau wewenang (shalahiyah) membagikan lahan kepada rakyatnya, sehingga menjadi hak milik pribadi maupun sebatas HGU. Namun, negara tidak hanya membagi kemudian dilepaskan begitu saja.

"Negara memiliki kewajiban mengawasi pengelolaan lahan ini, apakah benar-benar dikelola atau diterlantarkan. Kalau tidak dikelola alias diterlantarkan, maka dalam waktu 3 tahun penelantaran negara wajib mencabut status kepemilikan lahan tersebut dan dialihkan kepada yang lain, sehingga lahan ini bisa berproduksi," terangnya.

Ketiga, lanjut Yuana, Islam melarang menyewakan lahan pertanian.

"Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang melarang aktivitas mukhabarah ini. Ada sahabat bertanya, apa itu mukhabarah ya Rasulullah? Kemudian dijelaskan mukabarah yaitu mengambil mengambil bagian atau keuntungan (sewa tanah pertanian) baik separuh, sepertiga atau seperempat." ungkapnya.

Keempat, Yuana membeberkan bahwa lahan yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak karena di situ dimungkinkan mengandung bahan tambang atau mata air berlimpah yang menjadi kebutuhan publik, maka statusnya adalah menjadi milik umum (al-milkiyah al-'ammah).

"Nah lahan semacam ini dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta, apalagi itu swasta asing," tegasnya.

Hal itu tidak boleh, karena jelas Yuana berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah yang menyatakan bahwa kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput (lahan) dan api (sumber energi).

Jadi, menurutnya, jalan umum, aliran sungai, pantai dan laut yang yang menjadi kebutuhan hajat hidup orang banyak atau kebutuhan publik, itu statusnya adalah status kepemilikan umum. Setiap orang boleh memanfaatkan lahan tersebut karena lahan tersebut menjadi lahan kepemilikan umum. Namun sekali lagi, negara wajib mengawasi penggunaannya," ulasnya.

Kelima, ini yang terakhir kata Yuana, Islam memerintahkan negara untuk mencegah praktik-praktik imperialisme (penjajahan) oleh asing melalui jalan penguasaan lahan ini, baik secara perorangan, korporasi (perusahaan) maupun level negara. [] Muhar

Posting Komentar

0 Komentar