
Pengamat Sosial sekaligus Praktisi Pendidikan Iwan Januar menyampaikan tiga catatan terkait makin maraknya kasus pencabulan terhadap anak.
"Satu, eskalasinya ada peningkatan dari sisi jumlah kasus per tahunnya. Buktinya, dalam hitungan minggu saja sudah ada beberapa kasus itu yang muncul kepermukaan. Jadi, memang secara jumlah itu bertambah," ujarnya dalam program Kabar Petang: Ngeri!? Deret Kasus Guru Cabuli Siswa dan Anak-anak, di kanal YouTube Khilafah News, Selasa (15/10/2024).
Kedua, lanjutnya, bahwa kondisi saat ini hampir-hampir tidak ada ruang kehidupan yang aman bagi anak-anak meski di lingkungan rumah sekalipun, karena beberapa kali juga ada berita tentang anak yang menjadi korban pencabulan yang pelakunya ternyata masih ada hubungan keluarga.
"Ada yang pelakunya malah kakeknya. Coba bayangkan ya! Ada yang bapaknya, ada juga yang kakak kandungnya. Jadi, memang hampir-hampir tidak ada ruang aman untuk anak-anak di Indonesia pada hari ini," sebutnya.
Jadi, sesal Iwan, sangat ironis kalau pernah ada slogan sekolah dan kota ramah anak, tetapi faktanya hal itu tidak terwujud bahkan semakin jauh panggang dari api.
Ketiga, ia mengatakan, kasus kejadian pencabulan terhadap anak ini dikhawatirkan seperti fenomena puncak gunung es (yang nampak kecil terlihat di permukaan dan besar tak terlihat di bagian bawahnya). Hal itu karena data-data yang ada merupakan sebatas kejadian yang terlapor yang kemudian ditemukan oleh kepolisian dan masyarakat.
Iwan menduga, kasus-kasus asusila atau pencabulan terhadap anak banyak yang tidak terungkap, karena pelakunya bisa menutup rapat dan merupakan orang yang dekat dengan korban sehingga tidak ketahuan.
"Seperti misalkan yang terbaru di panti asuhan. Bayangkan coba di sebuah panti asuhan! Pengelolanya, juga beberapa gurunya itu mencabuli anak-anak di sana. Ini kan ketahuan! Kalau itu enggak ketahuan, maka tertutup rapat," tandasnya.
Penanganan yang Tidak Tuntas
Iwan lantas menilai bahwa penanganan kasusnya pun seringkali tidak menuntaskan persoalan.
"Penanganan terhadap kasus pencabulan anak itu hanya sifatnya kuratif (setelah kejadian) saja. Jadi kemudian, penanganan hukumnya pun seringkali tidak tuntas," nilainya.
Misalnya, kata Iwan, ketika korban lapor seringkali dimediasi supaya berdamai kemudian tidak masuk ke pengadilan.
"Seringkali terjadi demikian, terutama kalau pelakunya itu masih keluarga atau orang-orang yang berpengaruh di lingkungan sekitar," ungkapnya.
Semestinya, ia menegaskan, harus ada sanksi hukum yang berat.
"Enggak cukup hanya penjara. Kembalikan pada syariat Islam. Di dalam syariat Islam ada sanksi bagi pelaku yang jika korbannya itu sesama jenis maka si pelaku itu bisa mendapatkan sanksi hukuman mati," tegasnya.
Selain itu, menurut Iwan, selain tindakan kuratif (setelah kejadian) yang paling penting sebetulnya juga harus ada tindakan preventif (pencegahan).
"Harusnya memang dari segi keluarga itu menciptakan rasa aman di lingkungannya. Kedua, lingkungan masyarakat juga harus peka dengan keadaan seperti itu. Yang ketiga, harusnya negara hadir untuk menciptakan rasa aman bagi masyarakat, terutama bagi anak-anak," urainya.
Dipicu Pornografi
Iwan juga menduga kuat bahwa pemicu maraknya kasus pencabulan anak salah satunya yaitu dipicu oleh maraknya konten-konten pornografi di media internet atau di media sosial dan segala macamnya.
"Termasuk (konten porno) dari yang mulai lawan jenis, maupun yang sesama jenis. Itu gampang sekali diakses sehingga kemudian merusak pikiran sebagian orang, lalu mereka mencari korban untuk dijadikan pelampiasan. Yang paling gampang siapa? Anak-anak, karena mudah dibujuk dan mudah diancam," ulasnya.
Maka dari itu, kata Iwan, yang tidak kalah penting negara juga harus memberikan perlindungan kepada masyarakat dari konten-konten porno yang itu menjadi rangsangan dan pendorong (stimulan) seksual ke tengah-tengah masyarakat.
"Harus ada penyelesaian tuntas, tetapi sampai hari ini kita memang belum melihat ada kebijakan signifikan yang nyata untuk melindungi anak-anak kita," pungkasnya.
Kasus di Tangsel
Belakangan ini, kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur makin marak terjadi di Indonesia.
Tak terkecuali di wilayah kota Tangerang Selatan (Tangsel). Terbaru, seorang guru ngaji berinisial MH (40) di kampung Maruga Ciputat telah diduga melakukan pencabulan terhadap delapan muridnya.
Kasus ini sudah dalam penananganan Polres Tangerang Selatan (Tangsel). MH sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Melihat kondisi yang semakin genting, Pemkot Tangsel melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Tangsel memilih untuk meningkatkan pengawasan terhadap kasus semacam ini. Antara lain dengan cara membuka posko pengaduan untuk masyarakat yang mengetahui atau menjadi korban seperti kasus ini. [] Muhar
0 Komentar