Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

GELAP BUKAN SEBATAS SOAL KESEJAHTERAAN, TAPI KETIDAKTAHUAN HALAL DAN HARAM


Penulis Kitab Tafsir Al-Wa’ie KH Rokhmat S. Labib menjelaskan bahwa frasa "gelap" yang dimaksud dalam konteks kehidupan bukan sebatas soal sejahtera atau tidak sejahtera, tetapi lebih mendasar lagi, yakni ketidaktahuan tentang mana yang halal dan haram.

Hal ini disampaikan dalam Forum Kajian Tokoh Umat (FKTU) Megapolitan dengan tema Indonesia Gelap Saatnya Kembali ke Islam Kaffah, yang disiarkan melalui kanal YouTube Ra’yun TV pada Ahad (23/3/2025).

"Gelap itu karena ndak ngerti yang halal dan yang haram. Ndak ngerti ini masuk surga atau masuk neraka. Gelap jadi sebenarnya lebih mendasar sebenarnya itu," ungkapnya.

Lebih lanjut, Kiai Labib mengatakan, jika sebatas berbicara tentang kesejahteraan, akal manusia mungkin bisa mencapainya. Sebagai contoh, beberapa negara maju telah berhasil membuat rakyatnya sejahtera. Namun, persoalannya adalah cara yang digunakan untuk mencapai kesejahteraan tersebut.

"Negara-negara Eropa sebagian sudah kaya-kaya, tapi ingat, kaya sejahteranya itu di antaranya dengan merampok, menjajah negara lain," ujarnya.

Ia pun menegaskan bahwa gelap yang dimaksud sebenarnya adalah ketidaktahuan mengenai yang baik dan buruk, yang berpahala dan yang berdosa, yang dapat mengantarkan seseorang menuju surga atau neraka.

Ia menambahkan bahwa meskipun ada layanan seperti pemberian makanan gratis atau pendidikan gratis, belum tentu itu baik jika caranya salah.

"Memberikan makan gratis siang, baik atau tidak baik kalau yang diberikan ulat?" tanyanya.

"Pelayanan pendidikan gratis mungkin bagus, tetapi belum tentu bagus kalau pendidikan yang diajarkan sekularisme, memisahkan agama dari kehidupan." ucapnya mencontohkan.

Lebih jauh, Kiai Labib menyoroti meskipun jika ekonomi negara tampak sejahtera, hal tersebut tidak akan membawa keberkahan jika uang yang dihasilkan berasal dari pajak yang mengambil paksa uang milik rakyat. "Gimana kemudian terjadi keberkahan," tanyanya retoris.

Ia lantas menyatakan bahwa Fungsi utama Al-Qur'an adalah untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan tersebut dengan membawa cahaya, yang mengajarkan mana yang halal dan haram.

كِتٰبٌ اَنْزَلْنٰهُ اِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوْرِ
"Kitab (Al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu (Nabi Muhammad) agar engkau mengeluarkan manusia dari berbagai kegelapan pada cahaya," ucapnya mengutip surat Ibrahim ayat ke-1.

Yang menjadi masalah hari ini, Kiai Labib menilai bahwa dalam proses pembuatan undang-undang di DPR sebagai aturan kehidupan masyarakat di negeri ini, tidak adanya pertimbangan terhadap firman Allah SWT.

"DPR itu kalau buat undang-undang selalu ada frasa menimbang, mengingat, memutuskan. Ada nggak di situ menimbang firman Allah SWT? Nggak ada. Mengingat firman Allah SWT? Nggak ada," ungkapnya.

"Jadi jangankan menimbang, ingat saja itu loh, enggak. Qur'an nggak diingat. Qur'an nggak digunakan jadi pertimbangan, apalagi dijadikan dasar untuk memutuskan. Nggak bisa akan keluar dari kegelapan (kecuali kembali kepada Islam Kaffah dan kepada Al-Qur'an)," pungkasnya [] Muhar

Posting Komentar

0 Komentar