
Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana menyatakan, perang tarif yang digencarkan Amerika Serikat (AS) bukan sekadar tindakan proteksionisme ekonomi, tetapi upaya mempertahankan dominasi global melalui kendali atas sistem moneter dunia.
“Perang tarif ini bukan sekadar proteksionisme ekonomi ala Amerika Serikat, tetapi ini soal siapa paling kuat, siapa paling dominan mengendalikan sistem ekonomi dunia,” ujarnya dalam video singkat “US Dollar: Kunci Perang Dagang” di kanal YouTube Khilafah News, Jumat (18/4/2025).
Menurutnya, langkah agresif AS menaikkan tarif impor adalah bentuk tekanan ekonomi terhadap negara lain.
“Poinnya, perang tarif ini adalah cara AS memaksa negara lain tunduk secara ekonomi,” imbuhnya.
Sebab, lanjut Agung, kekuatan utama AS terletak pada dominasi mata uangnya.
“Mengapa Amerika Serikat main kasar? Jawabannya jelas karena Amerika Serikat pegang kuncinya, apa itu? US Dollar,” ungkapnya.
Ia menjelaskan bahwa seluruh negara di dunia dipaksa bergantung pada dolar AS, baik untuk menyimpan devisa, membayar utang, maupun melakukan perdagangan internasional.
“Jadi waktu Trump (Presiden AS) ngegas naikin tarif impor, semua negara cuman bisa 'ngedumel' sambil tetap membutuhkan US Dollar. Tambah parahnya lagi, karena ekonomi dunia lebih fokus pada sektor nonriil, 90% transaksi dunia itu nonriil: saham, derivatif, kripto, spekulatif, pasar uang, jual beli uang, bukan barang jadi,” jelas Agung.
Ia juga menyoroti bahwa yang paling diuntungkan dari krisis global bukan rakyat, melainkan para spekulan.
Meski ada kabar Cina akan membalas tarif AS, kata Agung, negara tersebut tetap beroperasi dalam sistem kapitalisme yang sama.
“Perang dagang semakin panas, yang terjadi kekacauan tambah parah. Inilah perang dagang di zaman modern kapitalisme, saling telan, rakyat yang jadi korban. Selamat datang di dunia yang disandera US Dollar dan spekulasi. Islam punya solusi untuk kekacauan dunia ini,” tandasnya.
Sistem Islam
Lebih lanjut, Agung menawarkan sistem ekonomi Islam sebagai solusi alternatif yang bebas dari manipulasi dan spekulasi.
“Islam enggak main-main loh ya! Sistem moneternya jelas, yaitu emas dan perak sebagai uang riil, nilai intrinsiknya. Inilah yang sering disebut dinar dan dirham,” sebutnya.
Ia memastikan bahwa nilai emas dan perak tidak bisa dicetak semaunya dan terhindar dari manipulasi.
“Kenapa emas dan perak? karena nilainya tetap, enggak bisa dicetak seenaknya, dan anti manipulasi. Yang paling penting lagi, ini perintah Allah SWT,” tegasnya.
Agung menyatakan bahwa ekonomi Islam berfokus pada sektor riil seperti perdagangan, pertanian, dan industri, serta menolak riba, spekulasi, dan derivatif.
“Dalam Islam, transaksi fokus ke sektor riil: perdagangan nyata, pertanian, industri dan barang-jasa riil lainnya lah. Menjauhkan dari sektor nonriil. Enggak ada riba, enggak ada spekulasi, enggak ada tipu-tipu derivatif,” ulasnya.
Hanya saja, ungkap Agung, sistem ini hanya dapat dijalankan secara utuh jika ditegakkan dalam institusi Khilafah.
“Sistem ini cuma bisa jalan kalau ada Khilafah, negara yang komitmen penuh menjalankan syariah Islam termasuk tentu ekonomi dan moneter yang sesuai dengan syariah Islam. Tanpa Khilafah, Islam cuma jadi wacana. Dengan Khilafah, Islam jadi solusi global,” ungkapnya.
Ia menyimpulkan bahwa persoalan utama perekonomian dunia saat ini bukan berakar pada perang tarif semata, melainkan sistem kapitalisme global yang bertumpu pada dominasi dolar AS.
“Catat ya teman-teman sekalian! perang tarif Trump hanyalah gejala dominasi US Dollar, cuma tanda kapitalisme. Nah itulah penyakit utamanya,” simpul Agung.
Ia pun menutup pernyataannya dengan menyerukan penerapan sistem Islam sebagai solusi global yang menyeluruh.
“Sedangkan Islam bagaimana? Bukan tambal sulam. Islam adalah sistem pengganti yang penuh berkah yang berasal dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Saat dunia terbakar oleh perang tarif, dominasi US Dollar dan spekulasi sektor nonriil karena penerapan sistem kapitalisme, maka Islam hadir sebagai rahmat dan penyelamat. Tunggu apa lagi!” pungkas Agung. [] Abu Hanif
0 Komentar