Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

NEGOSIASI TARIF EKSPOR AS: BUKTI LEMAHNYA INDONESIA DALAM NAUNGAN KAPITALISME


Pemerintah Indonesia kembali menampakkan kelemahannya dalam percaturan ekonomi global.

Delegasi Indonesia yang terdiri atas Menteri Luar Negeri, Menko Perekonomian, Wakil Ketua Dewan Ekonomi Nasional, serta Wakil Menteri Keuangan, melakukan kunjungan ke Amerika Serikat (AS) untuk melanjutkan proses negosiasi terkait tarif ekspor yang dinaikkan hingga 32% oleh pemerintah AS.

Harus disadari bahwa peristiwa ini bukan sekadar proses negosiasi dagang. Ini adalah potret nyata ketidakberdayaan Indonesia yang bersimpuh di hadapan dominasi sistem kapitalisme global.

Bayangkan, negeri yang kaya akan sumber daya alam (SDA), memiliki jutaan tenaga kerja, dan menghasilkan berbagai komoditas unggulan, justru dibuat kelabakan hanya karena satu keputusan sepihak dari negara lain.

Ketergantungan yang mendalam terhadap pasar luar negeri menjadikan perekonomian Indonesia begitu rapuh. Begitu AS menaikkan tarif ekspor, ekonomi terguncang, pengusaha menjerit, dan pemerintah pun buru-buru mencari "jalan kompromi" yang dibungkus dalam istilah diplomatik negosiasi.

Kenyataannya, penampakan ini merupakan bukti nyata kegagalan sistem kapitalisme-sekularisme dalam menciptakan kemandirian ekonomi bagi pengikutnya. Alih-alih mandiri, sistem ini justru melanggengkan ketergantungan struktural terhadap negara-negara kuat dan korporasi multinasional. Negara seperti Indonesia dipaksa untuk terus mengekspor bahan mentah dan komoditas, lalu dipermainkan dengan kebijakan tarif dan perjanjian dagang yang timpang.

Sebaliknya, sistem Islam dalam naungan Khilafah menawarkan paradigma yang sangat berbeda. Dalam sistem ini, perdagangan luar negeri tidak tunduk pada tekanan pasar global, melainkan diatur berdasarkan syariat Islam yang adil dan berdaulat.

Sistem Khilafah akan membangun kemandirian ekonomi dengan mengelola kekayaan alam secara mandiri, membatasi intervensi asing, memperkuat industri dalam negeri, dan menjadikan pemenuhan kebutuhan rakyat sebagai prioritas utama, bukan sekadar mengejar angka-angka ekspor.

Sayangnya, di bawah sistem demokrasi kapitalisme yang diterapkan saat ini, pemerintah Indonesia justru duduk di meja negosiasi, berharap belas kasih dari AS. Ini merupakan cerminan betapa rendahnya posisi tawar kita di mata dunia.

Sudah saatnya bangsa ini membuka mata. Sistem kapitalisme tidak pernah memerdekakan kita. Sebaliknya, ia menjadikan kita bangsa peminta-minta di hadapan hegemoni neo imperialisme global.

Hanya sistem Islam dalam naungan Khilafah yang akan mampu menjaga martabat dan kedaulatan ekonomi. Sistem ini akan membawa bangsa dan umat Islam di negeri Indonesia yang kita cintai ini berdiri tegak di hadapan bangsa asing bukan dengan rayuan penghambaan, tapi dengan kekuatan dan keadilan.

[Abu Hanif, Pengamat Politik, Ahad 20/4/2025]

Posting Komentar

0 Komentar