Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

PENYEWAAN LAHAN KAI: BUKAN SOLUSI HAKIKI KETAHANAN PANGAN


PT Kereta Api Indonesia (Persero) (KAI) baru-baru ini mengumumkan langkah optimalisasi aset negara berupa penyewaan lahan seluas 448 Hektare (Ha) lebih untuk keperluan pertanian dan perkebunan.

Diklaim sebagai bagian dari dukungan terhadap program ketahanan pangan nasional, dengan mengatasnamakan "Asta Cita" pemerintah, tanah-tanah PT KAI tersebut diproyeksikan menjadi lahan produktif melalui keterlibatan pihak ketiga, baik individu maupun korporasi. [detik]

Sekilas, inisiatif ini tampak positif. Namun, kebijakan ini sejatinya bukanlah solusi hakiki bagi permasalahan ketahanan pangan nasional.

Bahkan, hanya akan memperpanjang ketidakberesan dalam sistem pengelolaan tanah yang berakar pada paradigma kapitalisme sekuler yang batil.

Dalam sistem kapitalisme, tanah diposisikan semata-mata sebagai komoditas ekonomi menggiurkan yang dapat disewakan atau dikuasai seluas-luasnya oleh segelintir pemilik modal (kapitalis).

Akibatnya, akses terhadap tanah menjadi sangat sempit dan eksklusif terutama bagi kaum yang lemah, memunculkan ketimpangan kepemilikan, eksploitasi terhadap petani kecil, serta melemahkan kedaulatan pangan rakyat. Ketahanan pangan yang diupayakan pun akhirnya hanya menguntungkan korporasi (perusahaan-perusahaan besar), bukan memenuhi kebutuhan masyarakat umum atau rakyat secara adil.

Dalam Islam, tanah memiliki status yang sangat penting, dan syariat telah menetapkan ketentuan khusus terkait pengelolaannya. Salah satu ketentuan penting adalah larangan (haramnya) penyewaan tanah untuk keperluan pertanian.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, seorang ulama dan mujtahid kontemporer, dalam karyanya "Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam (Sistem Ekonomi dalam Islam)", dengan tegas menyatakan bahwa akad ijarah (sewa-menyewa) atas tanah pertanian hukumnya haram. Larangan ini didasarkan pada nash-nash sahih, di antaranya sabda Rasulullah saw.;

"Sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang al-mukhâbarah (menyewakan tanah pertanian)." (HR al-Bukhari no. 2381, Muslim no. 1536)

An-Nabhani menjelaskan bahwa larangan ini bersifat umum dan mutlak.

"Penyewaan tanah pertanian adalah haram karena adanya larangan dari Rasulullah saw. Tanah harus dikelola sendiri oleh pemiliknya atau diberikan kepada orang lain untuk digarap tanpa mengambil kompensasi berupa uang atau bagian hasil." (Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 198-200)

Dengan demikian, dalam perspektif syariat Islam, tanah pertanian tidak boleh disewakan. Sebaliknya, setidaknya Islam menetapkan tiga mekanisme pengelolaan tanah yang sah:

1. Ihya' al-Mawat (Menghidupkan Tanah Mati). Siapa pun yang menghidupkan tanah mati menjadi pemilik sah tanpa harus membayar kompensasi.

2. Distribusi Tanah oleh Negara. Negara mendistribusikan tanah kepada rakyat yang mampu mengelolanya, dalam bentuk pemberian hak milik atau izin penggunaan, tanpa akad sewa.

3. Selain itu, Islam mengatur bahwa tanah yang ditelantarkan selama tiga tahun berturut-turut harus ditarik oleh negara dan diberikan kepada pihak lain yang mampu mengelolanya, sebagaimana apa yang pernah ditetapkan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a;

"Siapa yang memiliki tanah lalu tidak menggarapnya selama tiga tahun, maka tanah tersebut diberikan kepada orang lain." (HR. Abu Yusuf dalam al-Kharaj, juga diriwayatkan dalam Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi).

Maka, dengan memperbolehkan penyewaan tanah, sebagaimana dilakukan oleh KAI, negara justru memperpanjang dominasi paradigma kapitalistik dalam pengelolaan sumber daya.

Praktik sewa tanah pertanian akan membuka luas peluang ketidakadilan, di mana pemilik tanah memperoleh keuntungan tanpa menanggung risiko produksi, sementara petani memikul seluruh beban kerja dan kerugian.

Alih-alih menjamin ketahanan pangan secara struktural, kebijakan ini hanya akan memperkaya korporasi dan segelintir pemodal yang mampu membayar sewa, bukan memandirikan rakyat secara produktif dan adil.

Lebih jauh lagi, dalam kapitalisme, tanah diperlakukan sebagai komoditas bisnis untuk diperjualbelikan dan disewakan demi profit, bukan sebagai amanah Allah SWT untuk memenuhi kebutuhan umat manusia. Konsep ini bertentangan secara fundamental dengan sistem Islam, yang memandang tanah sebagai sumber daya vital untuk kesejahteraan umum (al-maslaha al-ammah), bukan sebagai objek komersialisasi.

Oleh karena itu, kebijakan penyewaan tanah bukanlah solusi hakiki untuk mencapai swasembada pangan. Solusi sejati hanya akan terwujud dengan penerapan syariat Islam secara total, di bawah sistem pemerintahan Islam (Khilafah), yang mengelola tanah sesuai hukum Allah SWT demi kemaslahatan umat, bukan untuk kepentingan bisnis atau korporasi.

[Abu Jannah, Sahabat Dakwah Tangsel]

Posting Komentar

0 Komentar