
Beberapa hari lalu, ucapan Presiden terpilih Prabowo Subianto menjadi sorotan luas: “Apakah adil anaknya menderita?” Ucapan ini merespons gagasan tentang penyitaan aset koruptor, termasuk yang sudah dialihkan ke pihak keluarga. Sekilas terdengar seperti ungkapan empati. Tapi benarkah itu bentuk keadilan? Atau justru bias empati terhadap para elite, sementara rakyat kecil tetap dalam penderitaan sistemik?
Pernyataan tersebut menjadi cermin dari carut-marutnya arah keadilan dalam sistem demokrasi-kapitalistik saat ini. Di mana rasa kasihan bisa diarahkan secara selektif — kepada anak koruptor, sementara jeritan jutaan rakyat yang kehilangan hak pendidikan, kesehatan, dan kehidupan layak karena dampak korupsi justru dianggap wajar.
Pandangan Aqidah Islam: Keadilan yang Menyatu dalam Tauhid
Dalam Islam, keadilan tidak sekadar urusan sosial atau politik, tetapi juga bagian dari akidah. Allah memerintahkan keadilan sebagai bagian dari tauhid dan larangan menzalimi manusia sebagai amanat dari iman. Dalam Al-Qur'an surat An-Nahl ayat 90, Allah menyatakan bahwa Ia memerintahkan keadilan dan melarang kezaliman.
Artinya, seorang Muslim tidak boleh menyimpang dari prinsip keadilan, walau terhadap keluarganya sendiri. Al-Qur'an surat An-Nisa ayat 135 pun menegaskan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاۤءَ لِلّٰهِ وَلَوْ عَلٰٓى اَنْفُسِكُمْ اَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu.” (QS. An-Nisa: 135)
Jadi, pertanyaan “Apakah adil anaknya menderita?” tidak bisa dijawab dengan perasaan, tetapi harus dikembalikan kepada prinsip syariah: apakah aset yang dikuasai itu halal atau batil? Jika batil, maka wajib dikembalikan kepada yang berhak, yaitu rakyat.
Syariah Islam: Harta Haram Tak Bisa Dijadikan Warisan
Dalam syariah, harta yang diperoleh dari jalan haram — seperti korupsi — tidak sah dimiliki, apalagi diwariskan. Anak tidak menanggung dosa orang tua, tetapi jika ia mewarisi dan menikmati harta hasil korupsi, maka ia menjadi pemanfaat kezaliman. Dalam fiqih, ini disebut “intifa’ bi al-mal al-maghsub” (memanfaatkan harta hasil perampasan), yang tidak dibolehkan dan harus dikembalikan (Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa mengambil hak seorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah mewajibkan neraka untuknya, dan mengharamkan surga atasnya.” Maka seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun itu sesuatu yang sepele?” Beliau menjawab: “Meskipun itu hanya kayu siwak.” (HR. Muslim No. 196). Maka menyita aset itu bukan zalim, tapi justru penegakan keadilan agar negara bisa mengembalikan hak publik.
Sayangnya, dalam sistem kapitalisme-demokrasi hari ini, harta adalah simbol kekuasaan. Maka ketika ada penyitaan, yang dipikirkan bukan keadilan untuk publik, tapi empati untuk elite. Padahal korupsi bukan sekadar kejahatan ekonomi, tapi juga pengkhianatan terhadap jutaan harapan rakyat miskin (lihat: ICW, Laporan Tahunan 2023).
Khilafah Islam: Sistem Tegas Memberantas Korupsi
Berbeda dengan sistem demokrasi yang lunak terhadap elite, Khilafah Islamiyah menempatkan kekuasaan sebagai amanah, bukan alat akumulasi harta. Khalifah dan pejabat diawasi ketat oleh Mahkamah Mazhalim dan masyarakat (Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah). Mereka mendapat gaji cukup tapi tak boleh memperkaya diri. Aset publik dikelola negara dan hasilnya dikembalikan kepada umat.
Jika terjadi korupsi, Khilafah menyita harta tanpa kompromi. Harta haram dikembalikan ke Baitul Mal. Jika terbukti korupsi berskala besar dan merugikan rakyat, pelakunya bisa dikenai hukuman berat, bahkan hukuman mati sebagai ta’zir (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur). Semua ini bukan karena dendam, tapi untuk menjaga kepercayaan publik dan melindungi hak-hak rakyat.
Lebih dari itu, Khilafah menjamin kebutuhan dasar rakyat secara langsung. Pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok diberikan gratis atau terjangkau (Taqiyuddin an-Nabhani, Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam). Anak-anak miskin tidak ditelantarkan, apalagi dikorbankan demi kelangsungan hidup elite politik.
Kesimpulan: Jangan Lupa Siapa yang Paling Menderita
Pernyataan “Apakah adil anaknya menderita?” perlu dijawab dengan adil pula: Bagaimana dengan anak-anak yang tak bisa makan karena harga naik, yang tak bisa sekolah karena tak ada biaya, atau yang meninggal karena tak bisa berobat? Apakah mereka tidak layak dikasihani?
Islam mengajarkan bahwa keadilan bukan berarti semua orang merasa senang, tapi semua orang mendapatkan haknya. Jika keluarga koruptor harus kehilangan kenyamanan karena harta disita, itu bukan kezaliman, tapi bagian dari pengembalian hak milik publik.
Maka hari ini, umat butuh sistem yang tidak berpihak pada elite, tapi berpihak pada keadilan sejati. Bukan hanya slogan, tapi sistemik dan aplikatif. Dan itu hanya mungkin terwujud dengan sistem Islam kaffah, dalam naungan Khilafah.
Sebab jika keadilan dibelokkan hanya karena rasa kasihan pada anak koruptor, maka ini menjadi pertanda lemahnya prinsip negara dalam menegakkan keadilan. Padahal, sejarah Islam telah membuktikan bagaimana Khilafah mampu menegakkan keadilan tanpa pandang bulu—seperti saat Umar bin Khattab menolak memberi keistimewaan pada keluarganya sendiri, atau ketika Umar bin Abdul Aziz memimpin hingga nyaris tak ada penerima zakat karena makmurnya rakyat. Kini saatnya umat mengambil peran dalam perubahan besar, mendorong tegaknya Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah—agar keadilan bukan sekadar wacana, tetapi nyata dirasakan oleh seluruh rakyat. [] Taufik Helmi
0 Komentar