Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

MENGAPA UJI VAKSIN TBC DILAKUKAN DI INDONESIA?


Indonesia secara resmi ditunjuk sebagai salah satu lokasi uji coba vaksin tuberkulosis (TBC) M72. Vaksin ini dikembangkan oleh GlaxoSmithKline bekerja sama dengan Aeras, dengan dukungan pendanaan dari Bill & Melinda Gates Foundation. Uji klinis ini sudah memasuki fase ke-3, dan menjadi tonggak penting dalam upaya global mengakhiri ancaman TBC.


Mengapa Indonesia yang Dipilih?

Beberapa faktor utama menjadikan Indonesia lokasi strategis untuk uji coba skala besar ini:
  • Kasus TBC Terbanyak Kedua di Dunia: Indonesia mencatat sekitar 100.000 kematian akibat TBC setiap tahunnya, menjadikannya negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia.
  • Kesiapan Infrastruktur dan SDM Kesehatan: Indonesia menunjukkan kesiapan dalam aspek infrastruktur penelitian dan ketersediaan sumber daya manusia. Hal ini menjadikan Indonesia sangat layak sebagai tempat pelaksanaan uji klinis yang kompleks.
  • Dukungan Pemerintah dan Lembaga Pengawas: Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah memberikan izin untuk uji klinik fase 3 vaksin TBC M72. Proses ini juga diawasi oleh WHO, BPOM, serta para ahli vaksin TBC nasional dan internasional.

Jika uji coba ini sukses, Indonesia tidak hanya akan mendapatkan perlindungan lebih baik terhadap TBC, tetapi juga mencatat kontribusi penting dalam sejarah global pengendalian penyakit menular.


Pandangan Islam terhadap Vaksinasi TBC

Dalam Islam, menjaga kesehatan adalah bagian dari tanggung jawab seorang Muslim. Pencegahan penyakit, termasuk melalui vaksinasi, dikenal dalam fikih Islam sebagai al-ṭibb al-wiqā’ī (pengobatan preventif). Vaksinasi sendiri masuk dalam kategori at-tadāwī (berobat), yang hukumnya sunnah (mandūb/mustaḥabb), selama memenuhi syarat-syarat yang sesuai dengan syariat.

1. Landasan Hukum Berobat dalam Islam
Berobat adalah anjuran syariat, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

إن الله لم يضع داء إلا وضع له شفاء أو دواء إلا داء واحدا قالوا يا رسول الله ما هو قال الهرم
“Sungguh, Allah tidak meletakkan penyakit, melainkan Allah juga meletakkan obatnya, kecuali satu penyakit.” Para sahabat bertanya, “Penyakit apakah itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Pikun.” Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih. (HR. Tirmidzi, hasan sahih)

Namun, pengobatan tidak bersifat wajib. Dalam hadis lain, Nabi memberi pilihan kepada seorang sahabat yang sakit:

إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ
Jika kamu sabar, maka surga bagimu; tetapi jika kamu ingin, aku akan mendoakan agar kamu sembuh.” (HR. Bukhari, No. 5652; Muslim, No. 2576)

2. Dua Syarat Vaksinasi dalam Syariat

a. Kandungan Vaksin Harus Halal
Islam melarang penggunaan bahan haram atau najis dalam pengobatan, kecuali dalam keadaan darurat dan tidak ada alternatif lain.

ءً فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ
Berobatlah, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram.” (HR. Abu Dawud, No. 3874)

b. Tidak Menimbulkan Bahaya (Ḍarar)
Vaksin atau pengobatan tidak boleh menimbulkan bahaya bagi individu maupun masyarakat.

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Ibnu Majah, No. 2331)


Minimnya Inisiatif Internal Umat

Fakta bahwa program besar seperti vaksinasi TBC datang dari luar umat Islam patut diapresiasi, namun juga menyadarkan kita akan ketertinggalan umat dalam memainkan peran strategis di bidang kesehatan.

Padahal, umat Islam memiliki banyak aghniyā’ (orang kaya) dengan potensi finansial besar. Sayangnya, potensi ini belum terorganisasi untuk mendukung proyek-proyek kesehatan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Sudah saatnya umat menyadari bahwa kontribusi dalam bidang kesehatan adalah bagian dari tanggung jawab sosial sekaligus spiritual.


Warisan Keilmuan Dunia Islam dalam Bidang Kedokteran

Umat Islam memiliki sejarah gemilang dalam dunia pengobatan, antara lain:
  • Al-Rāzī (865–925 M) – Masa Khilafah Abbasiyah. Penulis al-Ḥāwī, ensiklopedia kedokteran yang dijadikan rujukan di Eropa hingga abad ke-17.
  • Al-Zahrāwī (936–1013 M) – Masa Khilafah Umayyah di Andalusia. Pelopor ilmu bedah, penulis al-Taṣrīf yang menjadi referensi dunia Barat.
  • Ibn Sīnā (980–1037 M) – Masa Khilafah Abbasiyah. Penulis al-Qānūn fī al-Ṭibb, salah satu karya kedokteran paling berpengaruh dalam sejarah medis dunia.

Mereka berkarya bukan semata karena kecintaan pada ilmu, tetapi karena iman dan tanggung jawab terhadap umat.


Saatnya Umat Islam Bangkit Kembali

Sudah saatnya umat Islam mengambil kembali peran peradaban, termasuk di bidang kesehatan. Kebangkitan ini memerlukan sinergi dari berbagai elemen:
  • Ulama & Ilmuwan: Merumuskan solusi medis yang halal dan syar’i.
  • Pengusaha Muslim: Menjadi sponsor utama riset kesehatan Islami.
  • Lembaga Pendidikan & Pesantren: Mendorong semangat keilmuan dan kontribusi sosial sejak dini.
  • Pemerintahan Islam: Menjadikan syariat sebagai dasar kebijakan publik, termasuk dalam bidang riset dan pengobatan.


Jangan Serahkan Tanggung Jawab Umat kepada Pihak Luar

Membiarkan riset vaksin, teknologi pengobatan, dan solusi sosial dikendalikan terus-menerus oleh pihak luar berarti menyerahkan identitas dan warisan keilmuan umat. Padahal, Islam adalah sistem hidup yang lengkap, mencakup seluruh aspek kehidupan: ilmu pengetahuan, kesehatan, ekonomi, pendidikan, politik, hingga kemanusiaan.

Kini, saatnya umat Islam membuktikan bahwa Islam adalah agama paripurna—yang tidak hanya mengatur ibadah, tetapi juga mendorong kontribusi nyata untuk kemajuan dunia.

Namun semua ini tidak akan terwujud jika umat Islam tidak kembali menjadikan aturan Islam sebagai pedoman hidup, baik secara individu, masyarakat, maupun dalam skala negara.

Wallāhu a‘lam bish-shawāb. [Arnov, Melihat Dunia Lewat Lensa Arnov]

Posting Komentar

0 Komentar