Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

MENYOAL PERNYATAAN MENKES (GAJI YANG 15 JUTA LEBIH SEHAT DAN PINTAR DARIPADA YANG 5 JUTA)


Pernyataan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Menkes RI) Budi Gunadi Sadikin bahwa orang yang berpenghasilan (gaji) Rp15 juta per bulan pasti lebih sehat dan pintar daripada yang bergaji Rp5 juta patut dipersoalkan.

Karena menurut penulis, pernyataan yang disampaikan dalam acara "Double Check" di Menteng, Jakarta Pusat, pada Sabtu (17/5/2025) tersebut bukan sekadar keliru secara logika dan fakta, tetapi juga terkesan mengandung unsur kesombongan yang tercela dalam pandangan Islam.


Kesombongan?

Kesombongan (al-kibr) adalah penyakit hati yang serius, wujudnya dapat ditandai dengan menolak kebenaran dan merendahkan orang lain dan merasa lebih unggul karena ilmu, amal ibadah, kekayaan, keturunan, kecantikan atau ketampanan, pangkat atau jabatan, dan sebagainya.

Pernyataan Menkes selaku pejabat negara ini, secara implisit dapat merendahkan banyak rakyat Indonesia yang bergaji 5 juta ke bawah. Padahal bisa jadi di antara mereka justru banyak yang lebih sehat, pintar, bahkan lebih rajin, lebih jujur, dan lebih beradab daripada pejabat atau orang berpenghasilan besar yang lalai dan sombong.

Rasulullah SAW mengingatkan:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walaupun sebesar biji sawi." (HR. Muslim)

Menjelaskan hadits ini, dalam "Syarah Shahih Muslim", Imam An-Nawawi r.a. menyatakan, “Hadis tersebut/di atas berisi larangan dari sifat sombong, yaitu menyombongkan diri kepada manusia, merendahkan mereka, dan menolak kebenaran.


Islam Mewajibkan Tawadhu' (Rendah Hati)

Sebaliknya, seseorang di dalam Islam, apalagi dia seorang pejabat negara, wajib memiliki sikap tawadhu’, empatik dan melayani rakyat, bukan merendahkannya.

Umar bin Khattab r.a., sang Khalifah kedua, bahkan memanggul gandum sendiri untuk rakyat yang kelaparan. Ia tak pernah mengukur rakyat dari harta atau jabatan, tapi dari hak mereka yang wajib ditunaikan negara.


Gaji Besar Belum Pasti Sehat dan Pintar

Secara ilmiah, dalam sistem kapitalisme yang tegak hari ini, pendapatan memang dapat menjadi salah satu faktor yang memengaruhi akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan.

Namun, menyimpulkan dan memastikan bahwa kesehatan dan kepintaran seseorang semata ditentukan oleh nominal gaji merupakan kekeliruan logis (cara berpikir) dan simplifikasi (penyederhanaan) berbahaya yang tidak sesuai dengan fakta.

Sebab faktanya, banyak juga orang dengan gaji besar atau penghasilan tinggi justru mengalami gangguan kesehatan kronis akibat gaya hidup konsumtif dan stres kerja, seperti hipertensi, diabetes, hingga depresi. Di sisi lain, tidak sedikit orang yang berpenghasilan tidak besar (5 juta ke bawah) justru memiliki kesehatan karena menjalani pola hidup sehat dan kesadaran gizi.

Begitu pun terkait kepintaran, "Apakah banyaknya koruptor di Indonesia yang sebenarnya sudah memiliki gaji besar dapat disebut sebagai orang-orang yang pintar?" Tentu tidak!


Cara Pandang Khas Kapitalisme

Penulis menilai, pernyataan Menkes menunjukkan cara pandang khas kapitalisme yang hanya mengukur manusia dari nilai materi.

Pola berpikir Menkes bersumber pada fakta sistem kapitalis yang diterapkan hari ini, di mana akses terhadap kesehatan dan pendidikan berkualitas memang kerap terbatas dan lebih mudah didapat bagi mereka yang mampu membayar.

Maka kemudian muncul pernyataan Menkes bahwa orang yang bergaji Rp15 juta pasti lebih sehat dan pintar daripada yang bergaji Rp5 juta.

Secara tidak langsung, penulis menduga kuat, ini sebenarnya tak lebih daripada pengakuan seorang pejabat negara bahwa sebenarnya negara telah gagal menjamin akses merata atas dua kebutuhan dasar tersebut.

Sedangkan Islam, tidak menjadikan besarnya gaji sebagai ukuran pelayanan kesehatan dan pendidikan manusia, tetapi ditentukan oleh sistem yang menjamin hak setiap warga secara adil.


Kesehatan dan Pendidikan Tanpa Diskriminasi

Dalam sistem Islam (Khilafah Islam), negara wajib menyediakan layanan kesehatan dan pendidikan berkualitas secara gratis kepada seluruh rakyat, tanpa membedakan status ekonomi. Negara tidak boleh menyerahkan urusan vital ini kepada mekanisme pasar. Keduanya adalah hak rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara.

Rasulullah SAW bersabda:

الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
"Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dengan sistem ini, tidak ada istilah “orang miskin sulit sehat dan sulit pintar”. Karena negara akan berupaya menjamin dengan kualitas terbaik dan tanpa diskriminasi.


Kekuasaan Bukan Alat untuk Merendahkan

Pernyataan yang merendahkan rakyat kecil atas dasar nominal gaji bukan hanya keliru secara logika, tapi juga menunjukkan betapa sistem kapitalisme telah membentuk mentalitas elitis, arogan, dan jauh dari sikap empatik. Islam menawarkan solusi bukan hanya pada level kebijakan, tetapi juga pada pembentukan jiwa pemimpin: rendah hati, amanah, dan takut kepada Allah, bukan menghitung rakyat dari sisi materi.

Jika Indonesia ingin keluar dari krisis keadilan sosial, maka bukan hanya kebijakan yang perlu dirombak, tapi juga sistem dan paradigma berpikir penguasanya. Islam hadir sebagai solusi yang menyeluruh yang tidak hanya menjamin kebutuhan dasar rakyat, tetapi juga membentuk penguasa yang sadar bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat untuk merendahkan. [Muhar, Sahabat Dakwah Tangsel]

Posting Komentar

0 Komentar