Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

MERDEKA TAPI TETAP DIJAJAH: APALAH ARTINYA?


Presiden Indonesia, Prabowo Subianto, dalam konferensi pers bersama Presiden Prancis Emmanuel Macron pada 28 Mei 2025 di Istana Merdeka, Jakarta, menyatakan bahwa Indonesia siap mengakui Israel, dengan satu syarat: Palestina telah merdeka secara penuh. Pernyataan ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Apakah pengakuan terhadap negara penjajah bisa mempercepat kemerdekaan Palestina? Atau justru menjadi bentuk legalisasi penjajahan yang dibungkus dengan bumbu diplomasi?

Yang terjadi di Palestina sejak 1948 bukanlah konflik antarnegara biasa. Ini adalah penjajahan sistemik dan terencana. Sejak berdirinya entitas Israel, sekitar 750 ribu rakyat Palestina terusir dari tanahnya dalam peristiwa Nakba—“malapetaka” bagi bangsa Palestina. Lebih dari 500 desa dihancurkan, dan hingga hari ini lebih dari 5 juta warga Palestina hidup sebagai pengungsi tanpa kepastian kembali ke tanah air mereka. Fakta ini tidak datang dari propaganda, tapi dari laporan resmi PBB melalui UNRWA (United Nations Relief and Works Agency for Palestine Refugees). Artinya, kita sedang berhadapan dengan kolonialisme, bukan sekadar konflik geopolitik.

Dalam konteks Islam, tidak ada celah untuk melegalkan penjajahan. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan bagi orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman” (QS An-Nisa: 141). Ini bukan ayat motivasi semata, melainkan prinsip dasar politik Islam: bahwa kekuasaan atas umat Islam tidak boleh jatuh ke tangan penjajah kafir, walau hanya sejengkal tanah. Rasulullah ï·º juga bersabda, “Barang siapa yang terbunuh membela hartanya, maka ia syahid.” (HR. Abu Dawud no. 4772). Jika harta saja wajib dipertahankan, apalagi tanah yang merupakan bagian dari kemuliaan dan marwah umat.

Sejarah Islam pun membuktikan bahwa solusi terhadap penjajahan tidak pernah melalui jalan pengakuan, apalagi kompromi. Shalahuddin Al-Ayyubi tidak menunggu restu Eropa untuk membebaskan Al-Quds dari Tentara Salib. Ia mengangkat pedang setelah 88 tahun umat Islam kehilangan tanah suci tersebut. Qutuz dan Baybars tidak membentuk tim diplomasi untuk membujuk Mongol agar mundur dari Syam: mereka justru memimpin pasukan dan memenangkan Perang Ain Jalut pada tahun 1260. Bahkan ketika kolonialisme Barat mencengkeram dunia Islam, Khilafah Utsmaniyah menolak pengakuan atas pendudukan Inggris di Mesir atau penjajahan Prancis di Aljazair.

Sayangnya, narasi dunia hari ini telah bergeser. Normalisasi hubungan dengan Israel dibungkus dengan embel-embel kemajuan, ekonomi, dan kemanusiaan. Padahal, esensinya tetap sama: membiarkan penjajahan berlangsung dan berharap keajaiban datang dari “diplomasi.” Jika Indonesia—negara dengan penduduk Muslim terbesar—mulai membuka pintu pengakuan dengan syarat “merdeka dulu baru diakui,” maka itu ibarat memberi lampu hijau kepada penjajah: silakan lanjutkan pendudukan, asal nanti ada kemasan damai.

Solusi Islam terhadap penjajahan jelas: tolak pengakuan, bangun persatuan umat, hidupkan kembali semangat pembebasan, dan angkat penjajahan sebagai isu umat, bukan isu Arab semata. Palestina bukan milik bangsa tertentu, ia adalah tanah wakaf umat Islam seluruh dunia. Membiarkannya terjajah, apalagi membuka peluang pengakuan terhadap penjajah, adalah bentuk kelalaian kolektif kita.

Dan akhirnya, kita patut merenung: apa arti kemerdekaan jika suara kita justru memperkuat posisi penjajah? Kemerdekaan yang tetap menyisakan penjajahan hanyalah bentuk lain dari kekalahan yang dibungkus sopan santun diplomasi. Palestina tidak butuh belas kasih, tapi butuh keberanian. Bukan keberanian untuk mengakui penjajah, melainkan keberanian untuk menolak tunduk padanya.

Jika umat Islam tidak segera sadar dan bersatu di bawah naungan Khilafah Islamiyah, maka selamanya mereka akan hidup dalam penjajahan dan penghambaan kepada negara-negara kafir penjajah. Sudah cukup lama kita menjadi penonton dari penderitaan saudara-saudara kita. Saatnya menjadi pelaku perubahan! [] Taufik HelmiAktivis Dakwah Tangsel


Referensi:
  • Channel News Asia (2025) – "Indonesia's Prabowo says ready to recognise Israel if Palestine becomes independent" (28 Mei 2025)
  • UNRWA (2023) – "Nakba 75 – The catastrophe that still continues"
  • Al-Qur’an, Surah An-Nisa ayat 141
  • Hadis riwayat Abu Dawud no. 4772
  • Amin Maalouf, The Crusades Through Arab Eyes
  • Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah

Posting Komentar

0 Komentar