
Konflik antara Iran dan Israel yang kembali memanas sejak Jum'at, 13 Juni 2025 semakin memperlihatkan betapa rapuhnya tatanan internasional yang dibangun di atas asas nation state (negara bangsa) dan kepentingan sempit geopolitik.
Dalam perang yang telah menewaskan ratusan jiwa ini, narasi pembelaan terhadap Palestina sayangnya tidak hadir dalam pernyataan resmi Iran. Justru, Iran secara terbuka menyatakan bahwa serangan balasan yang mereka lakukan terhadap Israel, murni merupakan bentuk pembelaan diri atas agresi militer yang lebih dahulu dilancarkan oleh Israel.
Hal itu sebagaimana yang disampaikan oleh Duta Besar Iran untuk Indonesia, Mohammad Boroujerdi, dalam konferensi pers mengenai agresi Israel di kediamannya, Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa (17/6/2025).
"Kami (Iran) adalah negara yang kuat dan mampu memberikan balasan, ini penting untuk negara-negara yang dizalimi oleh zionis. Iran memberikan pelajaran ke negara zionis, kami membela negara kami," terang Boroujerd.
Pernyataan ini menegaskan satu hal bahwa tindakan Iran bukanlah ekspresi pembelaan terhadap Palestina, melainkan murni aksi defensif demi melindungi kedaulatan negaranya.
Kita tentu perlu memberikan apresiasi terhadap keberanian Iran dalam menghadapi Israel, yang selama ini merasa superior secara militer dan politik di kawasan. Tidak banyak negara Muslim yang berani membalas serangan Israel secara langsung.
Ketegasan Iran dalam menggunakan hak membela diri, serta keberaniannya menghadapi tekanan Barat dan Israel, patut dihargai sebagai bentuk perlawanan terhadap arogansi Zionis yang selama ini jarang mendapat balasan setimpal dari negeri-negeri Muslim lainnya.
Namun, sayangnya, perlawanan ini tetap tidak didasarkan pada kewajiban syar’i dalam rangka membela apalagi membebaskan Palestina sebagai tanah kaum Muslim yang dijajah. Perlawanan ini tetap berpijak pada logika pertahanan negara bangsa, bukan visi pembebasan umat.
Dapat dicermati, konteks serangan ini bermula dari tudingan Israel yang menuduh Iran tengah mempersiapkan bom nuklir, setelah laporan IAEA (International Atomic Energy Agency, atau Badan Tenaga Atom Internasional) menyebut pengayaan uranium Iran telah mencapai kadar 60%. Iran membantah tudingan tersebut, menyatakan program nuklirnya hanya untuk kepentingan sipil. Namun tudingan ini dijadikan dalih oleh Israel untuk melancarkan serangan udara terhadap fasilitas nuklir dan militer Iran, termasuk kompleks Natanz dan pusat teknologi nuklir di Isfahan.
Inilah akar dari eskalasi militer tersebut. Dan sejak saat itu, Iran pun merespons dengan serangan rudal ke wilayah Israel, termasuk Tel Aviv. Tapi kembali, serangan itu diklaim Iran bukan sebagai bentuk ekspansi militer atau jihad membebaskan Palestina, melainkan hak membela diri sebagai negara yang diserang.
Sikap ini diperjelas dengan pembatasan akses warga ke internet, larangan penggunaan WhatsApp, serta pengamanan ketat terhadap komunikasi, menunjukkan fokus Iran yang tertuju pada keamanan nasionalnya sendiri, bukan pada perjuangan membebaskan tanah suci umat Islam.
Realitas ini menyingkap kelemahan mendasar dari pendekatan negara-bangsa dalam menyikapi konflik dan penjajahan.
Palestina hingga kini masih di bawah penjajahan zionis bukan karena kekurangan dukungan simpati, melainkan karena absennya institusi kekuasaan Islam global (Khilafah) yang mampu menyatukan kekuatan umat dan menggerakkan jihad secara terorganisir untuk membebaskan tanah suci al-Quds.
Iran, meskipun dikenal vokal terhadap Israel, tetap beroperasi dalam kerangka negara nasional, yang membatasi tindakan mereka hanya ketika kedaulatan negaranya dilanggar. Pembelaan terhadap Palestina bukan prioritas strategis yang mengikat, melainkan hanya isu moral kemanusiaan.
Ini berbeda dengan pandangan Islam yang menempatkan pembebasan tanah kaum Muslim dan Baitul Maqdis sebagai kewajiban syar’i yang tidak bergantung pada kepentingan politik lokal.
Situasi ini sekaligus mengungkap mengantarkan kepada titik terang bahwa perlawanan Iran tak cukup menggantikan urgensi peran Khilafah (pemersatu kaum Muslimin di dunia Islam) untuk membebaskan Palestina dari penjajahan zionis beserta para pendukungnya (Amerika Serikat dan sekutunya). Sebab faktanya, ketika Iran diserang, tindakan mereka bersifat reaktif yang sebatas terfokus pada keselamatan nasional, bukan pada amanat syariat penyelamatan umat Islam yang juga ada di sekelilingnya, khususnya Palestina dari pendudukan, penjajahan dan penindasan.
Pelajaran pentingnya adalah, Dunia Islam butuh lebih dari sekadar semangat membela diri. Umat ini membutuhkan pemimpin yang menyatukan negeri-negeri Muslim dan menjadikan isu Palestina bukan hanya sebagai beban moral, tapi sebagai kewajiban negara yang memiliki kekuatan militer dan legitimasi ideologis.
Itulah peran yang hanya dapat dimainkan oleh Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah. Tanpa institusi itu, perjuangan Palestina akan terus menjadi isu yang dipinggirkan, hanya muncul ketika berguna secara politis, lalu hilang saat tak lagi relevan dalam kalkulasi nasional negara-negara bangsa di dunia Islam. [] Muhar | Sahabat Dakwah Tangsel
0 Komentar