
Kapitalisme adalah senjata pemusnah massal dengan daya hancur luar biasa. Ia merusak tatanan ekonomi, sosial, politik, budaya, bahkan lingkungan dan alam. Kapitalisme menciptakan jurang lebar antara si miskin dan si kaya. Yang kaya semakin kaya dengan kekayaannya. Dengan uang, seseorang bebas memiliki apa pun sesukany, termasuk mobil mewah dalam jumlah puluhan bahkan ratusan.
Di sisi lain, kapitalisme juga memberikan hak kepemilikan atas tanah secara berlebihan. Seseorang bisa memiliki ratusan bahkan ribuan hektare tanah. Bahkan, individu atau korporasi diberi wewenang mengelola ribuan hingga jutaan hektare hutan. Kapitalisme memandang bahwa segala sesuatu di muka bumi ini adalah komoditas yang bisa dan harus dimanfaatkan. Tidak boleh ada yang dibiarkan begitu saja. Alam semesta diciptakan untuk dieksploitasi demi kepentingan manusia.
Ideologi kapitalisme diterapkan di Indonesia atas dasar pemikiran bahwa sumber daya alam harus dimanfaatkan seluas-luasnya oleh siapa pun, baik individu maupun kelompok. Pemerintah pun dapat memberikan izin usaha pertambangan (IUP) ataupun izin usaha pertambangan khusus (IUPK) kepada siapa saja, baik badan usaha milik negara (BUMN), swasta, maupun organisasi tertentu.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, disebutkan bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, WIUPK (Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus) dapat ditawarkan secara prioritas kepada badan usaha milik organisasi kemasyarakatan keagamaan.
Mahkamah Konstitusi pun dalam pandangannya menyatakan bahwa pemerintah dapat memberikan kewenangan kepada lembaga pendidikan, khususnya perguruan tinggi, untuk mengelola pertambangan.
Namun, realitasnya, proyek pertambangan di Indonesia justru menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat parah. Mulai dari pencemaran Teluk oleh PT Newmont Minahasa, pencemaran sungai oleh PT Freeport, pencemaran Teluk Weda, hingga kerusakan laut di Bangka Belitung. Baru-baru ini, Greenpeace Indonesia menyoroti kerusakan lingkungan di Raja Ampat (surga wisata Indonesia) yang rusak akibat eksploitasi alam besar-besaran, terutama tambang, tanpa upaya penghijauan kembali.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Ulil Abshar Abdalla, sempat mengingatkan agar kita tidak menjadi "wahabi lingkungan." Menurutnya, kepedulian terhadap lingkungan memang penting, bahkan sangat baik. Namun, jika sampai menganggap diri paling benar dan menolak pandangan orang lain, itu juga keliru. Pernyataan ini ia sampaikan untuk menanggapi protes aktivis lingkungan terkait tambang nikel PT Gag Nikel di Pulau Gag, Raja Ampat. Protes itu dilakukan dalam bentuk aksi damai oleh Greenpeace Indonesia bersama aktivis lingkungan Papua dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman Jakarta.
Dalam beberapa kesempatan, Ulil menyatakan bahwa pada dasarnya alam adalah milik Allah yang diberikan kepada manusia untuk dimanfaatkan. Eksploitasi kekayaan alam, menurutnya, tidak bertentangan dengan perintah Allah ï·». Namun, ajaran Islam menegaskan bahwa sumber daya alam sejatinya adalah milik bersama. Rasulullah ï·º bersabda, “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
Barang tambang yang jumlahnya sangat besar (seperti air yang mengalir) termasuk dalam kepemilikan umum (milkiyah 'ammah), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi maupun kelompok. Islam mengatur bahwa barang tambang yang bersifat vital dan melimpah tidak boleh dimonopoli, apalagi diperjualbelikan secara bebas.
Dalam sistem kapitalis demokrasi, elite politik justru berlomba-lomba mengeruk kekayaan alam. Biaya politik yang mahal membuat mereka berusaha mengembalikan modal yang telah dikeluarkan dalam setiap kontestasi politik. Jalan tercepat dan termudah adalah mengeksploitasi alam dengan dalih legalitas kekuasaan.
Tak heran jika banyak elite politik juga sekaligus berperan sebagai pengusaha. Sebagai penguasa, mereka membuat regulasi yang menguntungkan usaha mereka. Maka lahirlah undang-undang yang mendukung kepentingan segelintir orang, bukan kepentingan rakyat banyak.
Islam melarang manusia merusak alam. Dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 56 dan Ar-Rum ayat 41, Allah memperingatkan bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi karena ulah tangan manusia. Banjir di Morowali terjadi karena hutan gundul akibat tambang. Rusaknya biota laut di Raja Ampat karena tambang nikel membuat air laut menguning. Lubang-lubang besar bekas tambang timah di Bangka Belitung pun menjadi bukti kerusakan ekologis. Bahkan efek rumah kaca yang menyebabkan suhu bumi meningkat juga merupakan akibat langsung dari penggundulan hutan.
Islam menempatkan pengelolaan air, padang rumput, dan api sebagai tanggung jawab kolektif negara. Negara harus hadir mengelola dan melayani kebutuhan rakyat, bukan berbisnis dengan rakyat. Ketika negara mengelola kekayaan alam secara adil, maka manusia bersama-sama akan menjaga kelestariannya.
Berbeda halnya dengan sistem kapitalis, di mana negara bertindak sebagai regulator sekaligus pengusaha. Negara memiliki BUMN dan BUMD yang orientasinya adalah mencari keuntungan. Maka tak heran jika negara bersaing dengan rakyat dalam mengelola kekayaan alam.
Sistem politik dengan biaya tinggi, dipadukan dengan prinsip ekonomi kapitalis (yakni modal sekecil-kecilnya untuk keuntungan sebesar-besarnya) mendorong munculnya pengusaha-penguasa yang haus proyek. Mereka berlomba mengejar proyek pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam demi mengembalikan ongkos politik yang telah dikeluarkan saat pemilu.
Tak sedikit pejabat eksekutif maupun legislatif yang memiliki perusahaan tambang, perusahaan konstruksi, atau perusahaan lain yang terkait langsung dengan kekayaan alam. Inilah realitas dari penerapan ideologi kapitalisme yang menghancurkan: banjir di mana-mana, tanah longsor, biota laut yang mati, sungai tercemar, panas bumi meningkat, hingga penyakit kulit akibat udara dan air yang tercemar.
Tidak ada jalan lain untuk menghentikan kerusakan lingkungan ini kecuali dengan menghentikan penerapan ideologi kapitalisme. Sistem politik demokrasi liberal harus diganti dengan politik Islam. Sistem ekonomi kapitalisme liberal harus digantikan oleh ekonomi Islam.
Namun, penerapan Islam ini tidak bisa hanya dilakukan secara individual. Harus ada institusi negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Negara inilah yang akan membuat kebijakan pertambangan dan pengelolaan sumber daya alam berdasarkan hukum Allah, di bawah kepemimpinan seorang kepala negara yang disebut khalifah. [] Irawan Sayyid Lubty | Penyuluh Keluarga Berencana
0 Komentar