
Pemerintah menghadapi krisis perumahan yang semakin nyata. Harga tanah dan rumah terus melambung, sementara akses terhadap hunian layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah semakin terbatas. Kondisi ini mencerminkan kesenjangan serius dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.
Di tengah situasi tersebut, pernyataan Fahri Hamzah yang menyarankan kenaikan pajak rumah tetap agar masyarakat terdorong tinggal di rumah susun menuai reaksi keras. Alih-alih menjawab akar persoalan, usulan itu justru menambah tekanan bagi masyarakat yang sejak awal sudah kesulitan mendapatkan tempat tinggal layak.
Krisis Perumahan dan Akar Kesenjangan
Persoalan utama dalam krisis perumahan adalah kesenjangan antara jumlah rumah yang tersedia dengan keluarga yang membutuhkan. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS 2023, backlog perumahan mencapai 9,9 juta unit, meskipun Kementerian PUPR sebelumnya mencatat angka 12,7 juta unit secara nasional (bpsdm.pu.go.id).
Bahkan, Wakil Menteri Fahri Hamzah menyebut backlog mencapai 15 juta unit jika digabungkan dengan kebutuhan renovasi rumah tidak layak huni (detik.com). Angka-angka ini mencerminkan kebutuhan mendesak yang belum terpenuhi, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah yang terus tumbuh seiring pertambahan jumlah keluarga.
Tingkat kepemilikan rumah di Indonesia juga menunjukkan adanya celah ketimpangan. Berdasarkan Susenas BPS 2023 yang dikutip Kompas.id dan Detik.com, sekitar 84,8% rumah tangga Indonesia memiliki rumah sendiri. Angka ini memang lebih tinggi dibanding Malaysia (76–77%) dan Filipina (80%), namun masih lebih rendah dibanding Vietnam dan Singapura yang mencapai sekitar 90% (LPEM UI, Wikipedia, Kompas.id).
Artinya, meskipun mayoritas penduduk memiliki rumah, tetap ada sekitar 10–15% rumah tangga (atau hampir 10 juta keluarga) yang belum menikmati hak dasar tempat tinggal. Celah ini mencerminkan persoalan serius dalam pemenuhan kebutuhan papan secara menyeluruh.
Urbanisasi dan Ketimpangan Wilayah
Urbanisasi tidak semata dipicu oleh daya tarik kota, tetapi juga oleh ketertinggalan desa yang masih cukup kronis. Berdasarkan Indeks Desa Membangun (IDM) 2023 yang dirilis Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) yang dikutip oleh Antara News (2023), masih terdapat 4.850 desa sangat tertinggal dan 7.154 desa tertinggal di Indonesia.
Ketimpangan ini mendorong banyak warga desa untuk pindah ke kota hanya demi bisa mengakses layanan dasar dan peluang kerja, meskipun pada akhirnya mereka justru terjebak dalam krisis perumahan dan tekanan hidup di kawasan urban yang semakin sesak.
Ini merupakan konsekuensi langsung dari pendekatan kapitalistik dalam tata ruang dan perencanaan wilayah. Pembangunan difokuskan di kota besar dan kawasan industri, sementara desa cenderung diabaikan. Akses terhadap listrik, pendidikan, layanan kesehatan, dan transportasi publik lebih banyak tersedia di kota. Ketimpangan pembangunan ini menciptakan jurang kesejahteraan yang semakin dalam dan memperparah tekanan permintaan perumahan di kawasan urban.
Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020–2024, wilayah Jawa–Bali menyumbang lebih dari 60% PDB nasional, meskipun hanya mencakup sebagian kecil dari total wilayah daratan Indonesia. Data ini tercantum dalam Tabel 3.1 pada Bab III, yang menunjukkan bahwa pada tahun 2018 kontribusi PDB dari Jawa–Bali mencapai 60,1%, dengan target naik menjadi 60,6% pada tahun 2024 (Bappenas, 2020). Ketimpangan ini menciptakan tekanan urbanisasi yang masif dan memperberat krisis perumahan di kawasan perkotaan.
Perumahan sebagai Hak Pokok dalam Islam
Islam memandang tempat tinggal sebagai bagian dari kebutuhan mendasar manusia, bukan sekadar properti atau komoditas ekonomi. Rumah bukan hanya tempat berlindung secara fisik, tetapi juga ruang bagi ketenangan dan stabilitas hidup. Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan bahwa rumah adalah anugerah dari Allah yang menjadi sumber kenyamanan dan ketenteraman bagi manusia, sebagaimana firman-Nya:
ÙˆَاللّٰÙ‡ُ جَعَÙ„َ Ù„َÙƒُÙ…ْ Ù…ِّÙ†ْۢ بُÙŠُÙˆْتِÙƒُÙ…ْ سَÙƒَÙ†ًا
“Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal.” (QS. An-Nahl [16]: 80)
Negara memiliki tanggung jawab syar’i untuk menjamin ketersediaan dan keterjangkauan kebutuhan ini bagi seluruh rakyat. Rasulullah ï·º bersabda:
اَÙ„ْØ¥ِÙ…َامُ عَÙ„َÙ‰ النَّاسِ رَاعٍ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ Ù…َسْؤُÙˆْÙ„ٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ini bukan sekadar persoalan teknis administratif atau program sosial, melainkan amanah syariat yang harus ditunaikan negara. Negara yang gagal menunaikannya berarti telah berkhianat terhadap tugasnya sebagai pelindung dan pengurus rakyat.
Sejarah mencatat bagaimana Islam menempatkan pemenuhan kebutuhan papan dalam prioritas kebijakan. Khalifah Umar bin Khattab pernah membagikan tanah kepada rakyat yang tidak memiliki rumah, tanpa menarik pajak atau biaya. Islam juga melarang dominasi tanah oleh segelintir elite, tanah harus dimanfaatkan demi kemaslahatan umat.
Gagalnya Kapitalisme Menyediakan Solusi
Sistem kapitalisme menjadikan tanah dan rumah sebagai komoditas, bukan hak dasar. Akibatnya, rumah sering dibangun bukan untuk dihuni, melainkan untuk dijual, disewakan, atau dijadikan investasi. Ketika harga rumah mengikuti mekanisme pasar, yang paling dirugikan adalah masyarakat miskin. Solusi yang ditawarkan pun tidak menyentuh akar masalah, subsidi KPR, rumah susun murah, hingga menaikkan pajak rumah tetap. Semua ini hanya solusi tambal sulam dan menunjukkan cara pandang yang lepas dari tanggung jawab ideologis terhadap kesejahteraan rakyat.
Sistem ini gagal menjawab kebutuhan manusia secara utuh. Ia memandang rakyat sebagai pasar, bukan sebagai manusia yang harus dipenuhi hak dasarnya. Selama paradigma ini digunakan, maka krisis perumahan akan terus berulang dalam bentuk-bentuk baru.
Islam Kaffah sebagai Jalan Keluar
Melihat kompleksitas masalah ini, umat Islam perlu memahami bahwa krisis perumahan dan urbanisasi yang terjadi bukan sekadar persoalan teknis, melainkan bagian dari kegagalan sistemik kapitalisme dalam mengatur sumber daya dan pembangunan wilayah. Ketimpangan pembangunan antara kota dan desa menyebabkan eksodus besar-besaran ke kota, memperparah tekanan terhadap kebutuhan perumahan di wilayah urban. Sistem kapitalis gagal mengatur distribusi lahan dan perencanaan wilayah secara adil dan berkelanjutan.
Islam tidak hanya menawarkan solusi moral dan spiritual, tetapi juga menghadirkan sistem pemerintahan dan ekonomi yang menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar rakyat secara konkret dan menyeluruh. Dalam sejarahnya, Rasulullah ï·º dan para khalifah sesudahnya telah menunjukkan bagaimana distribusi tanah, pembangunan infrastruktur, dan pemerataan wilayah dilaksanakan secara adil dan produktif.
Di Madinah, Rasulullah ï·º membagikan tanah kepada kaum Muhajirin dan memberikan hak milik kepada siapa pun yang menghidupkan tanah mati. Khalifah Umar bin Khattab ra. menolak menjadikan tanah rampasan perang sebagai milik prajurit, melainkan menjadikannya milik umum demi kemaslahatan rakyat. Ia juga mencabut hak atas tanah yang ditelantarkan lebih dari tiga tahun untuk diberikan kepada yang lebih mampu mengelolanya secara produktif.
Tak hanya itu, Umar bin Khattab ra. juga mendirikan kota-kota baru seperti Kufah dan Basrah sebagai strategi pemerataan permukiman dan pusat ekonomi. Hal ini mencegah pemusatan ekonomi hanya di satu wilayah dan menjadi bentuk nyata dari pembangunan yang inklusif dan tersebar merata.
Sudah saatnya umat menyadari kembali urgensi penerapan syariat Islam secara menyeluruh (kaffah), termasuk dalam pengelolaan tanah dan penyediaan hunian. Sistem Khilafah telah terbukti secara historis mampu menjamin distribusi lahan, menstabilkan harga, dan menjaga keadilan sosial dalam kepemilikan rumah.
Pernyataan kontroversial tentang pajak rumah hanyalah potret kecil dari kegagalan kapitalisme memahami persoalan rakyat. Rumah bukan sekadar bangunan, melainkan hak dasar yang wajib dijamin oleh negara. Solusi parsial dan pragmatis tidak akan pernah cukup. Hanya sistem yang menyeluruh (dipimpin oleh pemimpin yang bertakwa dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat) yang mampu menyelesaikan krisis perumahan dan ketimpangan pembangunan secara adil dan tuntas. [] Taufik Helmi | Aktivis Dakwah Ideologis
0 Komentar