
Berkaitan dengan pendidikan gratis, Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) menyatakan masih menunggu arahan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sebelum dapat mengimplementasikan program pendidikan gratis bagi siswa sekolah dasar dan menengah pertama, baik negeri maupun swasta.
Anehnya, program ini sudah ramai diumumkan seolah tinggal dijalankan, padahal realisasinya masih dalam tahap “menunggu dan membahas”.
"Kita harus tunggu lagi berikutnya, setelah dari MK (Mahkamah Konstitusi) itu turunannya nanti adalah dari Kemendagri. Kita tunggu arahan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis maupun Permendagri seperti apa, supaya kita pada saat melakukan kebijakan, melakukan program itu baik anggaran tidak sampai salah atau tepat sasaran," ujar Wakil Wali Kota Tangsel, Pilar Saga Ichsan, Rabu, 28 Mei 2025 (Metro TV News).
Fenomena ini menunjukkan sesuatu yang ganjil. Mengapa sebuah kebijakan yang belum tuntas secara teknis, anggaran, dan peraturan, sudah gencar diumumkan ke publik?
Bukankah ini bisa menimbulkan harapan palsu bagi rakyat, khususnya orang tua siswa yang berharap besar terhadap solusi dari biaya pendidikan yang makin berat?
Kapitalisme, Antara Janji Manis dan Realita Pahit
Inilah wajah khas birokrasi kapitalistik: lebih fokus dan sibuk pada pencitraan, namun miskin penyelesaian berbagai persoalan, termasuk pendidikan.
Alih-alih menunaikan tanggung jawab secara konkret dan tuntas, pejabat publik kerap lebih dulu menabuh genderang keberhasilan. Padahal, implementasi di lapangan masih belum pasti.
Persoalannya adalah dalam sistem kapitalisme yang tegak hari ini, kebijakan seringkali diseret ke arah politis dan pencitraan.
Pemerintah lokal atau pusat selalu berlomba-lomba mengumumkan program, walau sering belum final secara teknis. Yang penting, sorotan publik dan media berhasil dikendalikan. Akibatnya, rakyat sering dijejali harapan, bukan pemenuhan hak.
Pendidikan, yang sejatinya adalah hak dasar rakyat, terus dipolitisasi dan diproyekkan. Muncul pertanyaan: mengapa negara seolah keberatan menanggung biaya pendidikan dasar, padahal ini merupakan amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa?
Jawabannya karena dalam sistem kapitalisme, negara tidak sepenuhnya berfungsi sebagai pelayan rakyat.
Pendidikan diswastakan, subsidi pun jika ada pasti terbatas dengan cakupan yang tidak luas. Karena negara lebih berperan sebagai fasilitator pasar, bukan penjamin hak rakyat.
Rakyat Butuh Kepastian Solusi
Pendidikan bukan ruang main-main. Ia menyangkut masa depan generasi dan arah peradaban. Maka, sungguh tidak pantas jika pemerintah terkesan mendahulukan pengumuman daripada kesiapan.
Ini bukan sekadar soal teknis, tetapi cerminan dari kerusakan sistemik akibat diterapkannya sistem kapitalisme.
Solusinya bukan dengan sekadar menagih janji program atau mempercepat juknis dari kementerian. Solusi sesungguhnya adalah dengan mengganti sistem yang rusak ini. Hanya dalam sistem Islam yang diterapkan secara kaffah, pendidikan akan benar-benar menjadi hak seluruh rakyat, bukan alat pencitraan dan proyek politik.
Sudah cukup rakyat dikelabui dengan janji-janji manis. Saatnya menuntut perubahan yang mendasar: kembali pada Islam sebagai sistem hidup yang menyejahterakan.
Solusi Islam Pada Pendidikan
Dalam Islam, negara adalah pelayan umat, bukan pemberi janji. Negara wajib menunaikan tanggung jawabnya dalam menyediakan pendidikan dasar dan bahkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma.
Bukan dengan sistem zonasi, bukan dengan subsidi terbatas, dan bukan dengan skema “kerjasama” dengan swasta yang sering justru membuka celah komersialisasi.
Negara dalam sistem Islam (Khilafah) tidak perlu menunggu petunjuk teknis dari kementerian untuk menunaikan kewajibannya. Sebab, aturan Islam sudah jelas dan langsung mengikat sebagai sumber hukum dan kebijakan.
Tidak ada tarik-menarik kewenangan antara pusat dan daerah, karena semua tunduk pada hukum syariat yang diadopsi pusat.
Pendidikan gratis bukan sekadar wacana atau kampanye. Dalam sejarah Islam, Khalifah Harun ar-Rasyid dan Al-Makmun telah menyelenggarakan pendidikan gratis dengan infrastruktur luar biasa: madrasah, perpustakaan umum, hingga pengajar profesional, semua dibiayai dari Baitul Mal.
Dan tak ada ruang bagi proyek pencitraan karena kepemimpinan Islam berbasis amanah, bukan popularitas. [] Muhar | Sahabat Dakwah Tangsel
0 Komentar