Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

PHK MASSAL, KEGAGALAN SISTEM LIBERAL


Meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) massal akhir-akhir ini semakin ramai terdengar. Fenomena ini menjadi tanda bahwa kondisi ketahanan ekonomi dunia sedang tidak baik-baik saja. Ekonomi cenderung tidak stabil dan mengalami turbulensi, sehingga berdampak pada bertambahnya masalah sosial yang kompleks di tengah masyarakat dan mengarah pada ancaman resesi global. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: adakah permasalahan serius dalam penerapan sistem ekonomi liberal di negeri ini?

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), tercatat bahwa sepanjang Januari hingga 26 September 2024, sebanyak 52.933 pekerja menjadi korban PHK. Salah satu penyebab utamanya secara normatif adalah serbuan dan tekanan produk impor yang berdampak pada menurunnya permintaan dalam negeri. Di samping itu, perang harga antara Amerika Serikat dan China turut menghambat pertumbuhan ekonomi, khususnya pada masyarakat kelas menengah. Padahal, masyarakat kelas menengah menyumbang 30 persen dari konsumsi nasional. Jika konsumsi mereka terganggu, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pun akan ikut terpengaruh.

Selain banjir produk impor, faktor lain penyebab PHK massal adalah lemahnya daya tahan perusahaan dalam menghadapi rumitnya birokrasi perizinan, perpajakan, fluktuasi suku bunga kredit perbankan, serta ketidakberpihakan kebijakan pemerintah terhadap sektor riil. Akibatnya, sektor ini seolah dianaktirikan. Tumbangnya raksasa tekstil seperti Sritex Group, PT Sanken Indonesia, Yamaha Music Indonesia, PT Danbi International, PT Victory Ching Luh, dan PT Adis Dimension Footwear, seakan menambah derita ekonomi rakyat di negeri ini.

Adakah faktor lain yang menyebabkan PHK massal? Bagaimana solusi Islam dalam menghadapi persoalan ini secara komprehensif?

Salah satu faktor utama lainnya adalah dampak buruk dari penerapan ekonomi liberal yang menyebabkan risiko inflasi. Sistem ekonomi liberal berakar pada ideologi kapitalisme dan mengadopsi sistem mata uang kertas. Inflasi yang terus terjadi memaksa perusahaan melakukan efisiensi, yang berujung pada penurunan daya beli masyarakat dan tingginya harga barang dan jasa. Selama sistem ekonomi liberal diterapkan, mustahil PHK dapat dihilangkan. Sebab, sistem ini justru memperlebar kesenjangan ekonomi masyarakat.

Lebih jauh, sistem ekonomi liberal cenderung mengecilkan peran negara dalam memberikan pelayanan kepada rakyat. Negara absen dalam memecahkan persoalan secara menyeluruh. Sebaliknya, pengelolaan pelayanan publik justru diserahkan kepada swasta, melalui dibukanya keran investasi asing dan aseng. Solusi yang diambil pun bersifat parsial dan tidak menyentuh substansi permasalahan, seperti pembagian bansos, sembako, dan sebagainya.

Ironisnya, di tengah gelombang PHK massal, solusi pragmatis yang diambil pemerintah justru dalam bentuk privatisasi sumber daya alam (SDA). Liberalisasi kekayaan alam yang dibungkus program hilirisasi, semakin memperjelas upaya perampokan harta milik rakyat menjadi milik individu atau swasta (oligarki). Privatisasi SDA akan terus mengamputasi peran negara, yang seharusnya memberikan pelayanan kebutuhan pokok rakyat secara menyeluruh. Negara hanya berperan sebagai regulator dan komprador bagi para kapitalis pemilik modal. Akibatnya, kekayaan negara dikuasai oleh segelintir individu yang mendapat privilese dari para penguasa.

Berbeda dengan sistem ekonomi Islam, pelayanan adalah tugas utama negara dalam mensejahterakan rakyat. Kesejahteraan diukur berdasarkan terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu, bukan berdasarkan banyaknya produksi atau hukum penawaran-permintaan barang dan jasa. Pertumbuhan ekonomi dalam Islam ditentukan oleh pemerataan distribusi kebutuhan rakyat di sektor riil, bukan oleh cadangan devisa atau nilai mata uang di sektor non-riil.

PHK massal yang menyebabkan meningkatnya angka pengangguran adalah multiplier effect dari sistem ekonomi liberal. Maka, Islam menawarkan solusi komprehensif untuk mengatasinya, antara lain:
  • Menstabilkan sistem moneter dengan mengganti penggunaan mata uang kertas menjadi mata uang berbasis standar emas. Hal ini akan menciptakan fondasi ekonomi yang kuat berbasis sektor riil, seperti pengelolaan lahan, tambang SDA, hutan, dan laut.
  • Memberikan regulasi yang utuh dalam pembagian harta kepemilikan: individu, umum, dan negara. Islam melarang penguasaan harta kekayaan umum oleh individu atau swasta, sehingga jelas batasan hak dan kewenangan dalam pengelolaannya untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat.
  • Memberikan pelayanan penuh di sektor kesehatan dan pendidikan, dengan kualitas tinggi dan ditanggung oleh negara. Kedua hal ini merupakan kebutuhan dasar untuk menopang aktivitas mencari nafkah yang layak dan diberkahi.
  • Membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya bagi masyarakat. Bagi yang tidak memiliki modal, negara wajib menyediakan bantuan modal tanpa riba. Bagi yang belum memiliki keterampilan, negara wajib menyelenggarakan pelatihan peningkatan SDM seperti life skill. Dalam Islam, tidak ada istilah pengangguran karena setiap laki-laki wajib bekerja untuk memenuhi nafkahnya.
  • Mendorong investasi halal di sektor riil, baik dalam bentuk kerja sama (syirkah mudharabah) maupun sistem jual beli barang tempo (murabahah).

Jika langkah-langkah solusi Islam di atas diterapkan, maka kesejahteraan masyarakat akan merata dan dirasakan oleh seluruh warga negara. Seperti pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang dalam waktu 10 tahun berhasil menciptakan ketenangan dan kemakmuran. Bahkan pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kebutuhan hidup rakyat benar-benar tercukupi dan merata hingga tidak ada lagi yang layak menerima zakat.

Dengan diterapkannya sistem Islam secara paripurna yang dipimpin oleh seorang Khalifah, niscaya gelombang PHK massal dapat dihapuskan, dan kesejahteraan hakiki akan terwujud. Wallahu a'lam. [] Tri Lesmono | Guru Honorer

Posting Komentar

0 Komentar