
Langit Timur Tengah belum sepenuhnya gelap saat sirene meraung di atas permukiman Israel. Dari ufuk timur, ratusan rudal dan drone ditembakkan serempak oleh Iran, menerobos gelap malam, menuju tanah yang selama ini mencurahkan kehancuran ke Gaza. Dentuman pertama belum terdengar, tapi dunia sudah gemetar. Ini bukan lagi gertakan di forum PBB, ini adalah serangan nyata dari negeri yang merasa diserang. Tapi sebelum sebagian rudal itu mencapai tujuan, beberapa hancur lebih awal. Bukan oleh Iron Dome. Bukan oleh sistem pertahanan Zionis. Tapi oleh negara tetangga yang selama ini tampak tenang: Yordania.
Di menara-menara komando militer Yordania, radar menangkap lintasan benda-benda asing yang melintasi langitnya. Tak lama, perintah keluar. Jet-jet tempur lepas landas. Rudal dicegat. Drone diledakkan. Langkah itu, menurut pemerintah, diambil demi menjaga kedaulatan dan keamanan rakyat. Yordania tidak ingin wilayahnya dilalui proyektil perang. Namun, semua orang tahu: rudal-rudal itu tidak pernah ditujukan ke Amman. Tidak satu pun diarahkan ke istana atau rumah warga. Targetnya jelas: entitas penjajah yang telah menghancurkan Gaza hingga tak bersisa.
Namun malam itu, Israel tak benar-benar sendirian. Serangan yang ditujukan kepadanya justru dihentikan lebih dulu oleh negeri Muslim sendiri. Tak ada yang menyatakan dukungan terbuka kepada pihak Zionis, tapi tindakan Yordania berbicara lebih jujur daripada pernyataan diplomatik. Rudal-rudal yang menjadi sinyal perlawanan terhadap penjajahan dicegat bukan oleh musuh, tapi oleh yang disebut sebagai saudara.
Dan ini bukan cerita baru. Ketika Gaza dihujani bom siang dan malam, sebagian dunia Islam memilih diam. Tapi Yordania melangkah lebih jauh: menjadi perisai tak resmi bagi penjajah dengan dalih menjaga batas negara. Dengan alasan melindungi wilayah. Dengan dasar kerja sama militer yang diwariskan oleh sejarah kolonial. Alasan yang diulang dari waktu ke waktu, seakan-akan itu hal wajar, meski konsekuensinya adalah memperkuat posisi musuh dan melemahkan perlawanan saudara sendiri.
Kejadian seperti ini tak lain adalah pengulangan atas luka sejarah yang belum pernah terobati. Dunia Islam kini seperti tubuh besar yang tercerai, dengan organ-organ yang tak lagi terhubung. Satu bagian menjerit kesakitan, sementara yang lain hanya memandangi tanpa daya. Bahkan kadang, tanpa rasa, ikut memukul balik atas nama stabilitas kawasan atau demi kesepakatan keamanan.
Di hadapan tragedi semacam ini, ukhuwah hanya tinggal jargon di mimbar. Solidaritas hanya hidup saat kamera menyala. Tapi ketika keputusan politik harus diambil, yang bicara bukan iman, melainkan nasionalisme sempit, kepentingan bilateral, dan ketakutan kehilangan kursi atau dukungan internasional.
Selama umat ini masih menaruh harapan pada sistem global yang menjadikan penjajah sebagai mitra strategis, maka kita akan terus menjadi pagar bagi musuh, bukan tameng bagi saudara. Kita akan terus sibuk menjaga batas-batas buatan (yang diwariskan kolonial) alih-alih menyatukan barisan perjuangan dan menegakkan kembali kehormatan umat ini.
Dan selama tidak ada satu kepemimpinan Islam yang menyatukan kekuatan umat, selama itu pula rudal-rudal keadilan akan terus dicegat, bukan oleh musuh, tapi oleh ‘saudara’ sendiri yang berdiri tegak menjaga batas ilusi, dengan senyum diplomatik dan tangan menggenggam perjanjian lama. Bukan karena mereka tak tahu siapa penjajahnya, tapi karena pilihan politik mereka tak lagi berpijak pada ajaran Islam, melainkan pada kepentingan dunia yang fana.
Inilah akibatnya ketika umat lebih percaya pada peta kolonial ketimbang ajaran Rasul-Nya. Batas negara dijunjung seolah suci, sementara darah saudara seiman ditumpahkan tanpa kepedulian. Ketika nasionalisme menggantikan ukhuwah. Ketika bendera menggantikan panji. Padahal sejak awal, Islam telah menghapus sekat-sekat itu. Wilayah kaum Muslim adalah satu, Dār al-Islām. Kepemimpinan mereka satu, Khilafah. Dan musuh mereka jelas, setiap penindas yang memerangi Islam dan kaum Muslimin.
Selama umat ini tidak kembali kepada sistem Islam yang menyatukan seluruh komponen kekuatannya, selama kepemimpinan kita tercerai dan kebijakan ditentukan oleh loyalitas pada Barat, maka yang terjadi akan terus sama: Gaza dihancurkan, rudal balasan dilumpuhkan, dan penjajah terus dilindungi. Bukan karena kita tidak memiliki kekuatan, tapi karena kita tidak memiliki persatuan. Bukan karena kita lemah, tapi karena kita belum bersatu di bawah naungan syariat yang seharusnya menjadi kompas utama umat ini.
Sudah waktunya kita tidak hanya marah, tidak hanya mengecam, tapi mengambil langkah strategis dan terukur: kembali kepada Islam sebagai ideologi yang memimpin kehidupan, dan menegakkan kepemimpinan Islam yang mampu menjadi pelindung sejati umat. Sebuah kepemimpinan yang tak akan ragu membela Gaza, dan tak akan membiarkan langit Yordania menjadi penahan keadilan bagi saudara seiman.
Wallāh a‘lam bi ash-shawāb
[] Arnov | Aktivis Dakwah
0 Komentar