
Kehidupan generasi muda saat ini tak bisa dilepaskan dari arus digital yang begitu deras. Gawai di tangan membuka akses ke seluruh dunia, namun juga menyeret mereka dalam pusaran tanpa arah. Kemudahan informasi sering kali tak sejalan dengan kualitas arahan hidup. Banyak di antara mereka yang terperangkap dalam budaya hiburan instan, candu media sosial, konten amoral, bahkan krisis jati diri. Mereka tahu segalanya tentang tren global, namun kerap kehilangan arah tentang siapa diri mereka dan untuk apa hidup ini dijalani.
Fakta di lapangan menunjukkan realitas yang mengkhawatirkan. Data dari laporan We Are Social dan Meltwater (Digital 2024: Indonesia) menunjukkan bahwa rata-rata anak muda Indonesia menghabiskan waktu lebih dari tiga jam per hari di media sosial, dan TikTok menjadi aplikasi paling dominan di kalangan usia 16–24 tahun. Sementara itu, data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2023 mencatat peningkatan kasus kekerasan seksual, perundungan daring, dan akses terhadap konten pornografi di kalangan remaja. Lebih dari itu, hasil survei Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehidupan Keagamaan (Puslitbang) Kementerian Agama tahun 2022 menyatakan bahwa 75% pelajar SMP dan SMA tidak pernah mendapatkan pendidikan agama secara intensif yang mampu membentuk karakter Islam yang menyeluruh. Ini bukan sekadar masalah individu, melainkan cermin dari sistem kehidupan sekuler yang telah lama mengakar.
Sistem pendidikan dan sosial hari ini dikuasai sekularisme—ideologi yang memisahkan agama dari kehidupan. Akibatnya, ajaran Islam hanya hadir di ruang-ruang ritual, bukan sebagai fondasi pembentukan kepribadian. Pendidikan kehilangan ruh, media tak mengenal batas halal dan haram, sementara kebijakan publik kerap melahirkan generasi yang bingung arah hidup. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an:
وَمَنْ اَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِيْ فَاِنَّ لَهٗ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَّنَحْشُرُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اَعْمٰى
“Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha [20]: 124)
Ayat ini menggambarkan kondisi manusia yang jauh dari petunjuk Ilahi: hidup terasa sempit meski dunia tampak terbuka lebar. Mereka bisa memiliki segala fasilitas, tetapi hatinya kosong, jiwanya gersang. Inilah realitas generasi hari ini yang sibuk scroll tanpa kontrol.
Bandingkan dengan pemuda Islam terdahulu. Mereka memiliki semangat besar, tetapi diarahkan dengan wahyu. Ali bin Abi Thalib ra, misalnya, telah menunjukkan keberanian luar biasa sejak muda dengan menggantikan posisi Nabi saw. pada malam hijrah. Keputusan itu bukan semata keberanian, tetapi lahir dari akidah yang kokoh. Usamah bin Zaid ra, yang masih sangat muda, dipercaya memimpin pasukan berisi sahabat-sahabat senior. Mengapa? Karena ia dibina dalam sistem Islam yang melahirkan pribadi berkepribadian pemimpin. Sultan Muhammad Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel pada usia 21 tahun, berbekal visi kenabian dan pendidikan Islam sejak dini. Semua ini menjadi bukti bahwa dengan sistem yang benar, generasi emas dapat dilahirkan.
Fakta-fakta ini menegaskan bahwa pembinaan generasi bukan hanya tanggung jawab individu dan keluarga, tetapi juga sistem dan negara. Dalam Islam, negara memiliki peran sentral dalam membentuk generasi—dari kebijakan pendidikan, pengawasan media, hingga penegakan hukum syariah. Sistem Khilafah, sebagai bentuk pemerintahan Islam, bukan hanya mengatur urusan dunia, tetapi juga menjaga akhlak publik. Kurikulum berbasis akidah, media yang disaring sesuai nilai halal dan haram, serta penegakan amar ma’ruf nahi munkar menjadi ciri khas negara yang bertanggung jawab atas umatnya.
Dalam sejarah Khilafah, negara tidak membiarkan warganya terlunta-lunta oleh arus informasi. Pendidikan gratis dan berkualitas tersedia luas, ulama menjadi garda depan pembinaan masyarakat, dan atmosfer ketakwaan ditegakkan. Sistem ini berhasil membangun peradaban gemilang dan melahirkan generasi pemikir, ilmuwan, mujahid, dan pemimpin besar yang mengubah dunia. Tidak ada ruang untuk konten merusak, sebab kontrol moral bukan dibebankan pada individu semata, melainkan menjadi tanggung jawab negara.
Kini, kita dihadapkan pada dua pilihan: terus membiarkan generasi muda terombang-ambing dalam scroll tanpa kontrol, atau mengembalikan arah pembinaan kepada sistem yang berpijak pada wahyu. Sejarah telah memberi pelajaran, dan masa depan menuntut keberanian memilih. Generasi muda adalah aset peradaban. Mereka tak hanya butuh teknologi di tangan, tetapi arah hidup yang benar. Dan itu hanya dapat diberikan oleh sistem Islam yang menyeluruh—yang menjadikan iman sebagai fondasi dan syariah sebagai pedoman. [] Taufik Helmi | Aktivis Dakwah Ideologis
0 Komentar