Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

SYUKUR: BUKAN PASRAH PADA KEZALIMAN PENGUASA


Di tengah krisis multidimensi yang melanda negeri ini, seperti kemiskinan yang merajalela, kezaliman hukum, penjajahan ekonomi, korupsi yang menggila, hingga kerusakan moral dan sebagainya, terkadang bahkan masih sering saja ada suara-suara yang mencibir para pengkritik rezim (penguasa) sebagai "orang-orang yang tak tahu berterima kasih" atau "orang-orang yang tidak pandai bersyukur". Seakan-akan mengoreksi kezaliman penguasa adalah bentuk kebencian dan pengingkaran atas nikmat Allah.

Narasi ini bukan hanya menyesatkan, tapi juga berbahaya karena dapat membungkam amar makruf nahi mungkar yang merupakan bagian inti dari ajaran Islam.

Padahal, mengoreksi dan membongkar kemungkaran atau kezaliman terlebih yang dilakukan oleh penguasa selaku pengurus urusan orang banyak justru merupakan bagian dari syukur yang hakiki, bukan pengingkaran nikmat.

Islam tidak memaknai syukur sebatas ucapan lisan “Alhamdulillah” atau menerima apapun yang terjadi tanpa kritik. Islam memaknai syukur sebagai menggunakan nikmat Allah SWT sesuai tujuan syariat-Nya, termasuk nikmat akal, ilmu, dan lisan untuk menyuarakan kebenaran dan menolak kebatilan, terlebih lagi yang dapat merusak kehidupan manusia dan alam.


Syukur dalam Makna Syariat

Imam al-Jurjani dalam al-Ta'rifat menjelaskan, syukur adalah pengakuan terhadap nikmat dari Allah dengan cara menggunakannya dalam ketaatan kepada-Nya.

Jadi, syukur bukan pasrah diam pada kezaliman. Bila nikmat berupa ilmu, kekuatan, atau pengaruh digunakan untuk membongkar kemungkaran dan menyeru kepada kebaikan, maka itu adalah syukur sejati.

Allah SWT berfirman:

وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ
"Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu kufur!" (QS. Al-Baqarah: 152).

Syukur di sini meniscayakan tindakan aktif dalam ketaatan, termasuk menolak maksiat, menyuarakan amar makruf, dan mencegah kemungkaran.

Dalam konteks penguasa yang zalim, diam adalah bentuk kufur terhadap nikmat dan tanggung jawab dakwah.

Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menuliskan pernyataan Imam Abu Ali Ad Daqqaq An Naisaburi Asy Syafi’i:

الساكت عن الحق شيطان أخرس، والناطق بالباطل شيطان ناطق
Orang yang berdiam diri dari (menyampaikan) kebenaran, maka ia adalah syaithon akhros (yakni setan yang bisu dari jenis manusia). Dan orang yang menyampaikan kebatilan ia adalah setan yang berbicara.

Senada dengan itu, dalam Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah juga pernah berkata: “Orang yang berdiam diri dari menyampaikan kebenaran (padahal ia mampu menyampaikannya) adalah Syaithon Akhros (setan Bisu dari jenis manusia).


Wajib Menolak Kezaliman Penguasa

Setidaknya ada beberapa alasan mengapa kita sebagai Muslim wajib bersuara menolak kezaliman penguasa. Di antaranya:

1. Amar makruf nahi munkar adalah ciri umat terbaik.
Allah Swt. berfirman: "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar." (QS. Ali Imran: 110)

Perintah ini bukanlah tugas opsional, melainkan identitas utama umat terbaik. Jika umat Islam memilih diam atas kemungkaran penguasa dengan dalih "bersyukur", maka mereka justru kehilangan keutamaannya sebagai umat pilihan.

2. Mengoreksi penguasa adalah bagian dari Iman.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Pemimpin terbaik adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian, yang kalian doakan dan mereka mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian, yang kalian laknat dan mereka melaknat kalian.

Para sahabat bertanya, “Apakah kami boleh memerangi mereka?” Nabi menjawab: “Tidak, selama mereka masih menegakkan salat di tengah kalian. Akan tetapi, jika kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangan kalian. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Jika tidak mampu juga, maka dengan hati. Dan itulah selemah-lemahnya iman” (HR. Muslim).

Hadis ini menegaskan bahwa mengoreksi penguasa zalim bukanlah bentuk kekufuran terhadap nikmat, tapi bagian dari iman.

3. Jihad terbaik: menyampaikan kebenaran kepada penguasa zalim.
Rasulullah ﷺ juga bersabda: “Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kalimat kebenaran di hadapan penguasa yang zalim” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi).

Apakah jihad ini bentuk ketidaksyukuran? Tentu tidak. Justru inilah jihad yang dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya, karena menunjukkan keberanian dan keteguhan iman.


Syukur dalam Sistem Sekuler

Sayangnya, dalam sistem kapitalisme-sekuler, makna syukur telah dipelintir menjadi alat untuk membungkam kritik dan membenarkan kezaliman. Syukur dimaknai sebagai pasrah, tunduk, dan loyal kepada pemimpin meskipun menindas. Ini bukan ajaran Islam, melainkan dogma sistem rusak yang anti-kritik dan anti-kebenaran.

Dalam Islam, kritik terhadap penguasa zalim justru merupakan tanda cinta terhadap negeri dan bukti tanggung jawab keimanan. Islam mengajarkan bahwa pemimpin adalah pelayan umat, bukan sosok yang kebal dari koreksi. Jika umat diam atas kezaliman, maka murka Allah bisa menimpa seluruh masyarakat.

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمُ اللَّهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ
Sesungguhnya manusia jika melihat kemungkaran, lalu mereka tidak mencegahnya, maka Allah hampir-hampir akan menimpakan azab kepada mereka semua.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi).


Syukur Hakiki adalah Taat kepada Allah

Dengan demikian, jelas bahwa mengoreksi penguasa, menolak kezaliman, dan membongkar kemungkaran bukanlah tanda ketidaksyukuran, melainkan bentuk syukur yang sejati kepada Allah atas nikmat iman, bagian wujud pelaksanaan dakwah, dan tanggung jawab jihad.

Sebaliknya, diam dan loyal buta terhadap kezaliman justru merupakan bentuk kufur terhadap nikmat karena menolak peran sebagai penegak amar makruf nahi mungkar.

Kini saatnya umat Islam menanggalkan narasi keliru dan kembali kepada ajaran Islam yang ideologis dan berani menyuarakan kebenaran di hadapan penguasa zalim, demi meraih ridha Allah serta tegaknya masyarakat Islam yang adil dalam naungan Khilafah ‘ala minhaj an-Nubuwwah. [] Muhar | Lulusan Akademi Penulis Ideologis (API) III 2025

Posting Komentar

0 Komentar