Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

KETIKA NEGARA TAK LAGI MENGURUS RAKYAT, SIAPA YANG AKAN BERTANGGUNG JAWAB?


Seorang ibu ditangkap karena mencuri. Alasannya sederhana: anaknya lapar. Di tempat lain, petani membuang hasil panennya, bukan karena gagal panen, tetapi karena harganya anjlok. Mahasiswa berhenti kuliah karena tidak mampu membayar biaya, pasien meninggal di IGD karena tak sanggup membayar administrasi rumah sakit. Sementara itu, negara tetap membayar cicilan utang ribuan triliun dan memberi karpet merah pada investor asing. Lalu, siapa sebenarnya yang sedang dilayani negara? Rakyat atau pemodal?

Realitas memilukan ini bukan kisah lama yang diulang-ulang, tetapi kenyataan yang terjadi hari ini. Negara yang seharusnya menjadi pelindung justru absen. Yang hadir hanyalah prosedur birokrasi, regulasi pasar, dan jargon pembangunan. Di tengah kemewahan elite, suara jerit rakyat seakan tak terdengar. Maka wajar jika pertanyaan ini menggema di benak kita semua: Ketika negara tak lagi mengurus rakyat, siapa yang akan bertanggung jawab?

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menyebutkan bahwa lebih dari 9,5% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi di Indonesia cukup tajam, dengan indeks Gini Ratio sekitar 0,38. Ini menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan di antara warga cukup besar. Di sisi lain, utang negara terus menumpuk hingga lebih dari Rp8.000 triliun. Beban ini sejatinya akan ditanggung rakyat, baik melalui pajak, kenaikan harga kebutuhan, maupun pengurangan subsidi.

Dalam pandangan Islam, negara bukan sekadar lembaga administratif, melainkan institusi kepemimpinan yang mengemban amanah agung. Rasulullah ﷺ bersabda: "Imam adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari & Muslim). Dalam Islam, pemimpin adalah rā‘in (pengurus) dan junnah (pelindung). Ia harus berada di garda depan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, menjamin kesejahteraan, dan mengatur urusan mereka dengan hukum Allah.

Imam al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniyyah menulis bahwa tugas utama penguasa adalah menjaga agama dan mengurus urusan dunia rakyat dengan syariat. Ibnu Taimiyah dalam As-Siyasah as-Syar’iyyah menegaskan bahwa keadilan dan pelayanan kepada rakyat merupakan fondasi utama kekuasaan. Tanpa itu, pemerintahan hanyalah alat kezaliman. Lihatlah kepemimpinan Rasulullah ﷺ dan para Khulafaur Rasyidin. Mereka tidak hanya menjadi pemimpin formal, tetapi juga pengawas pasar, penjamin pendidikan, dan pengatur distribusi pangan.

Namun hari ini, sistem sekular telah mengubah wajah negara menjadi mesin birokrasi yang tunduk pada logika kapitalisme. Negara hanya berperan sebagai regulator, bukan pelayan rakyat. Dalam bidang ekonomi, kebijakan yang diambil justru sering menyusahkan rakyat: pencabutan subsidi, kenaikan harga BBM, dan beban pajak yang tinggi.

Dalam bidang pendidikan, kampus berubah menjadi korporasi yang menjadikan mahasiswa sebagai konsumen, bukan penuntut ilmu. Dalam layanan kesehatan, rakyat harus mengantre panjang, membayar iuran, bahkan menghadapi penolakan di rumah sakit. Di sektor lingkungan, hutan dan tambang dikuasai oleh korporasi swasta, meninggalkan kerusakan ekologis dan penderitaan rakyat lokal.

Sebaliknya, sistem Islam (yang diterapkan dalam institusi Khilafah) memberikan solusi fundamental. Islam mengatur seluruh aspek kehidupan secara menyeluruh. Dalam sistem ekonomi Islam, sumber daya alam seperti air, listrik, tambang, dan hutan adalah milik umum yang harus dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan untuk diswastakan.

Dalam pendidikan, negara wajib menyediakan layanan gratis dan berkualitas untuk seluruh warga, dari tingkat dasar hingga tinggi. Dalam kesehatan, seluruh rakyat dijamin akses layanan tanpa biaya melalui dana Baitul Mal, bukan lewat sistem asuransi berbasis premi. Dalam pasar, negara mencegah monopoli dan intervensi harga untuk menjaga stabilitas dan keadilan.

Contoh nyata kepemimpinan yang berpihak pada rakyat bisa dilihat dalam sejarah Islam. Umar bin Khattab pernah mengatakan bahwa ia tidak akan makan makanan enak sebelum rakyatnya kenyang. Khalifah Umar bin Abdul Aziz menghapus pajak tambahan dan memperluas sistem jaminan sosial hingga tak ada lagi yang mau menerima zakat. Inilah wujud pemimpin sejati yang memahami bahwa jabatan bukan kehormatan, melainkan amanah.

Islam juga membuka ruang yang luas bagi rakyat untuk mengontrol kekuasaan. Rasulullah ﷺ bersabda: "Jihad paling utama adalah berkata benar di hadapan penguasa zalim." (HR. Abu Dawud). Dalam Khilafah, terdapat mekanisme formal seperti hisbah (pengawas publik) dan Majelis Umat yang berperan seperti parlemen rakyat, dengan wewenang menasihati bahkan mengoreksi Khalifah. Sejarah mencatat Imam Ahmad bin Hanbal menolak tunduk pada penguasa dalam soal akidah (fitnah khalq al-Qur’an), meski harus menerima siksaan.

Sudah saatnya umat ini berhenti berharap pada solusi tambal sulam dari sistem sekular. Setiap kali ganti pejabat, harapan kembali dibangun, tetapi hasilnya tetap mengecewakan. Karena persoalan utamanya bukan pada “siapa yang memimpin”, melainkan pada sistem apa yang digunakan. Maka, perubahan sejati hanya bisa terwujud dengan mencampakkan sistem kufur dan menegakkan syariat Islam secara kaffah.

Kita membutuhkan gerakan dakwah yang konsisten, ideologis, dan visioner. Mereka yang menyeru kepada syariah dan Khilafah bukan karena ambisi duniawi, melainkan karena keyakinan akan janji Allah dan kecintaan kepada umat. Inilah saatnya bergabung, menyuarakan kebenaran, dan berjuang bersama.

Jika bukan kita, siapa lagi? Jika bukan sekarang, kapan lagi? Tidakkah kita takut ditanya oleh Allah kelak, mengapa kita diam saat sistem zalim mencabik-cabik kehidupan umat? Yakinlah, janji Allah itu benar. Kemenangan Islam akan tiba. Dan saat itu datang, semoga kita termasuk orang-orang yang telah berada dalam barisan perjuangan, bukan yang menyesal di barisan belakang. [] Taufik Helmi | Lulusan Akademi Penulis Ideologis III

Posting Komentar

0 Komentar