Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

PEMBUNUHAN DI PONDOK AREN: TANPA HUKUM ALLAH, MEMBUNUH DIANGGAP SEPELE


Suasana Pondok Aren, Tangerang Selatan, mendadak mencekam pada Selasa dini hari, 15 Juli 2025. Seorang pria berinisial CAD (31) ditemukan tewas bersimbah darah, dengan luka menganga di leher akibat digorok. Tubuhnya ditutupi selembar sarung.

Awalnya misterius, namun belakangan polisi berhasil mengungkap pelakunya adalah Abdul Syukur (AS), seorang 'anak punk' yang sehari-hari mengamen di jalanan.

Yang menyayat hati, korban ternyata sempat menolong pelaku. Pada Senin malam (14 Juli), AS baru pulang dari mengamen di Bekasi. Ia naik kereta menuju Stasiun Jurangmangu, Tangerang Selatan, dan tiba sekitar pukul 23.00 WIB. Sesampainya di halte Mal Bintaro Xchange, ia bertemu korban dan meminta tolong untuk memesankan ojek daring.

Karena tujuan keduanya searah, korban bersedia mengantar pelaku hingga ke tempat tujuan. Pelaku kemudian mengajak korban “ngopi” di rumahnya. Dengan dalih orang tuanya sedang sakit, pelaku membujuk korban agar berpindah ke sebuah lapangan kosong. Tanpa sepengetahuan korban, pelaku telah menyiapkan sebilah pisau tajam di dalam tas.

Setibanya di lapangan sekitar pukul 01.30 WIB, mereka sempat berbincang. Ketika korban hendak pulang, pelaku membuka resleting tas, mengambil pisau, dan langsung menggorok leher korban dari belakang. Setelah korban terkapar tak bernyawa, pelaku menutup tubuhnya dengan sarung, lalu melarikan diri dengan membawa ponsel dan motor korban.

Tragis, kebaikan justru dibalas dengan pembunuhan dan perampasan harta yang mengenaskan.


Ketika Nyawa Tak Lagi Berarti

Peristiwa ini menambah panjang daftar kelam kasus maraknya pembunuhan di negeri ini. Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Bareskrim Polri mencatat, terdapat 1.074 orang terlapor dalam kasus pembunuhan di Indonesia pada Januari hingga 3 Desember 2024. [Good Stats]

Ini menjadi potret gelap dari gagalnya sistem (peraturan kehidupan) hari ini dalam menjaga kehormatan dan keselamatan nyawa manusia.

Mengapa membunuh begitu mudah dilakukan? Mengapa seseorang bisa tega menghabisi nyawa orang lain, bahkan bagi orang yang telah diberikan pertolongan?

Jawabannya terang, karena kehidupan manusia hari ini telah dipisahkan dari hukum Allah SWT. Dalam sistem sekuler yang dianut saat ini, hukum tidak menanamkan rasa takut kepada Tuhan. Tidak ada keimanan terhadap dosa, siksa neraka, atau hisab di akhirat. Hukuman negara pun hanya dipandang sebagai risiko, bukan pencegah hakiki.


Islam Menjaga Nyawa dengan Tegas

Islam memandang nyawa sebagai sesuatu yang sangat mulia dan harus dijaga. Barang siapa membunuh tanpa hak, maka balasannya adalah qishash (hukuman mati yang setimpal).

Qishash bukan sekadar pembalasan, melainkan pelajaran dan bentuk pencegahan agar tidak terjadi pertumpahan darah sembarangan. Allah SWT. berfirman:

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيْهَآ اَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ
Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat), bahwa jiwa dibalas dengan jiwa...” (QS. Al-Ma’idah: 45).

Namun, Islam juga memberikan alternatif berupa diyat, yakni kompensasi harta yang wajib dibayar kepada ahli waris korban jika mereka memaafkan pelaku dan memilih tidak menuntut qishash. Besarannya adalah 100 ekor unta (40 ekor diantaranya unta hamil) atau senilai harga yang setara, bukan uang tebusan murah sebagaimana yang sering terjadi di negeri ini.

Diyat bukan sekadar “uang damai”, melainkan bentuk pengakuan atas pelanggaran berat terhadap nyawa manusia. Namun, jika ahli waris korban tidak berkenan dan tidak menginginkan diyat, maka pelaku tetap dijatuhkan hukuman mati sebagai qishash.

Hukum ini menunjukkan bahwa dalam Islam, setiap tumpah darah manusia dihitung sangat bernilai tinggi baik oleh Allah maupun oleh negara, tak boleh diremehkan.


Sistem Islam Tegakkan Keadilan Sejati

Dalam sistem Islam (Khilafah Islamiyah), hukum seperti ini ditegakkan dengan tegas dan adil. Tidak hanya menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga membina masyarakat agar takut kepada Allah, menjaga akhlak, dan menjauhi dosa. Sistem pendidikan, ekonomi, dan sosial yang diterapkan pun mendukung lahirnya masyarakat yang aman, adil, dan bertakwa.

Negara dalam Islam bukan hanya hadir saat ada korban, melainkan mencegah lahirnya pelaku dengan sistem yang membentuk manusia bertakwa dan takut berbuat dosa. Sanksi seperti qishash dan diyat diberlakukan bukan dengan semena-mena, tapi melalui proses peradilan syar’i yang menjunjung tinggi keadilan dan perlindungan hak.


Saatnya Kembali kepada Syariat Islam

Selama hukum Allah belum diterapkan secara menyeluruh, tragedi serupa akan terus berulang. Nyawa manusia seolah tak berharga. Pembunuhan selalu dianggap remeh. Hukum buatan manusia tidak mampu menanamkan rasa takut yang sejati.

Tragedi Pondok Aren ini harus menjadi peringatan keras bagi kita semua. Sudah cukup nyawa melayang sia-sia. Sudah saatnya sistem rusak ini ditinggalkan.

Mari kembali kepada syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah, sistem yang benar-benar menjaga nyawa manusia dan menegakkan keadilan sejati!

Allah SWT. menegaskan:

وَلَكُمْ فِى الْقِصَاصِ حَيٰوةٌ يّٰٓاُولِى الْاَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ
Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, agar kamu bertakwa,” (QS. Al-Baqarah: 179).

[] Muhar | Lulusan Akademi Penulis Ideologis (API)

Posting Komentar

0 Komentar