
Direktur Pamong Institute, Wahyudi Al-Maroky, menyatakan bahwa sistem politik demokrasi dan ekonomi kapitalisme tidak berpihak kepada rakyat, melainkan lebih berpihak kepada kepentingan elite politik dan pengusaha.
“Kalau pemilu butuh uang, setelah pemilu cari uang. Nah, kira-kira begitu. Kapan mikirin rakyat? Kapan-kapan,” ujarnya dalam presentasi bertajuk Kegagalan Kapitalisme yang tayang di kanal YouTube Ra’yun TV, Rabu (20/8/2025).
Ia memaparkan bahwa dalam sistem kehidupan masyarakat, dua hal yang paling dominan adalah sistem politik dan ekonomi.
Ia pun mengungkapkan bahwa sistem politik Indonesia menggunakan demokrasi warisan Yunani Kuno. Slogannya: dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
“Tapi dari rakyat kecil, dikelola oleh rakyat sedang, hasilnya untuk rakyat besar. Jadi rakyat kecil ya tertindas dan diperas,” sesalnya.
Sedangkan dalam bidang ekonomi, sambungnya, Indonesia menggunakan sistem kapitalisme liberal. Namun, menurutnya, baik demokrasi maupun kapitalisme dikendalikan oleh kepentingan kapitalis (pemilik modal).
Lebih lanjut, Wahyudi menjelaskan bahwa dalam sistem demokrasi kapitalisme, negara hanya sedikit mengatur atau bahkan tidak mengatur sama sekali.
“Itu yang mereka sebut dengan istilah reinventing government. Jadi mereka ingin pemerintah itu sedikit mengatur daripada melakukan, dan sisanya diserahkan kepada swasta,” katanya.
Itulah yang menurutnya membuat banyak sektor publik diserahkan kepada swasta, termasuk layanan dasar kesehatan yang diserahkan kepada BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). “Kenapa dinaikkan? Karena pemerintah tidak mau ikut campur mengatur di situ. Sebenarnya hanya sedikit mau mengurus hal itu. Jadi diserahkan kepada pihak lain,” imbuhnya mencontohkan.
Ia menegaskan bahwa sistem ini menyebabkan ketimpangan semakin melebar. “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Itu tidak bisa dihindari dalam semua sistem ekonomi kapitalis,” tambahnya.
Sedangkan berbicara soal penerapan hukum, Wahyudi mengungkapkan bahwa sistem hukum Indonesia berasal dari warisan Romawi, yang digunakan oleh Prancis, kemudian dijadikan dasar oleh Belanda saat menjajah Indonesia.
“Akhirnya hukumnya dibawa ke sini. Jadi hukum kita hari ini warisan Belanda yang diambil dari code pénal Prancis, Napoleon Bonaparte, dari Romawi. Jadi lengkap, pemerintahan politiknya pakai Yunani Kuno, sementara hukumnya pakai Romawi Kuno,” sebutnya.
Dampaknya, ia menggambarkan struktur kekuasaan yang timpang, di mana rakyat hanya menjadi penopang beban dari kebijakan negara dan bisnis. “Rakyat bekerja keras, mereka rata-rata digaji minim oleh pengusaha. Para tentara dan aparat disuruh menjaga kepentingan bisnis kaum kapitalis. Rakyat disuruh bekerja keras, digaji dengan upah minimum,” tegasnya.
Sementara itu, ia juga mengkritik demokrasi sekuler kapitalisme yang tidak menjadikan halal-haram sebagai standar kebijakan negara. Menurutnya, peran intelektual dan tokoh agama kerap kali hanya menjadi pembenar kebijakan elite.
“Tugasnya membenarkan (memberi legitimasi) apa yang dikerjakan oleh pemerintah ataupun para pengusaha,” ungkap Wahyudi.
Ia juga menyebut bahwa para politisi dalam demokrasi kapitalisme sejatinya hanyalah alat dari kekuatan modal global.
“Mereka itu sebenarnya boneka yang mengabdi kepada kepentingan kapitalisme global. Bahkan mereka menunggangi negara atas nama negara, atas nama NKRI, dan seterusnya,” ujarnya.
Wahyudi pun menyerukan perlunya perubahan sistem. “Jadi inilah konstruksi kita (Indonesia) pada posisi hari ini. Kira-kira mau dilanjutkan seperti ini atau tidak? Itulah perlunya ada turn around. Itu perlunya ada perubahan arah. Cuma arahnya ke mana, maka kita perlu juga mengkaji (Islam) lebih jauh,” pesannya. [] Muhar
0 Komentar