
Analis dari Pusat Kajian Analisis dan Data, Fajar Kurniawan, menilai ketimpangan kepemilikan lahan atau tanah yang parah di Indonesia berakar dari kerusakan sistem.
“Jelas tadi bahwa ini berpulang pada kerusakan sistem, ya. Kita sudah sadari semua bahwa hari ini sistem ekonomi, terutama yang kita jalankan, adalah sistem ekonomi kapitalistik,” ujarnya dalam program Kabar Petang: Parlemen Sibuk Pansus, Rakyat Tetap Kehilangan Tanah? di kanal YouTube Khilafah News, Senin (13/10/2025).
Menurut Fajar, perpaduan antara sistem ekonomi kapitalistik dan politik demokrasi menyebabkan kekuasaan berpihak pada pemilik modal.
“Di dalam sistem ekonomi kapitalistik yang dipadukan dengan sistem politik demokrasi, itulah yang kemudian menyebabkan dua masalah berkelindan satu sama lain,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, dalam kontestasi politik demokrasi, para kandidat membutuhkan dukungan finansial yang umumnya datang dari kelompok kaya.
“Ketika kontestasi politik, kemudian para kontestan ini membutuhkan dukungan sumber daya, dalam artian dukungan finansial, maka yang paling mungkin memberikan dukungan finansial itu adalah orang-orang yang punya uang, orang-orang yang punya modal. Dan itulah yang kita sebut sebagai oligark tadi itu,” sebut Fajar.
Para oligark tersebut, lanjutnya, tumbuh besar karena mendapat sokongan langsung dari negara.
“Para oligark ini sebenarnya besar karena selama ini juga mendapatkan sokongan dari negara. Salah satunya adalah dengan negara memberikan, tadi, bisa berupa izin (penguasaan lahan untuk usaha),” ungkapnya lagi.
Ia menyebut, bisnis para oligark banyak berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya lahan.
“Di antara para oligark itu memang ada banyak sekali yang bisnisnya berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya lahan atau tanah tadi itu,” katanya.
Fajar membeberkan bahwa sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan menjadi wilayah penguasaan utama para oligark.
“Terutama adalah pengusaha-pengusaha di sektor perkebunan, kemudian pengusaha-pengusaha di sektor kehutanan, baik hutan tanaman industri, hak pengusahaan hutan, hak untuk restorasi ekosistem, dan juga bisnis di tambang yang semua itu modal utamanya adalah tanah,” jelasnya.
Menurutnya, hubungan antara oligarki dan penguasa bersifat timbal balik. “Ketika dalam proses kontestasi dia didukung penuh oleh para oligarki tadi itu, kemudian ketika dia sudah berkuasa, maka para oligark juga meminta komitmennya dia agar diberikan sejumlah konsesi untuk pengembangan bisnisnya, dan lagi-lagi akan seperti itu dan itu kejadian yang terus berulang,” tegasnya.
Akibatnya, kata Fajar, skala penguasaan lahan oleh korporasi besar menjadi sangat besar dan timpang. “Bayangkan bahwa satu grup saja, misalkan satu grup perusahaan, itu bisa menguasai ratusan ribu hektar, bahkan lebih dari itu. Ada yang menguasai 500.000 hektar, ada 200.000 hektar, 300.000,” ungkap Fajar.
Sementara rakyat, lanjutnya, banyak yang hanya memiliki lahan kecil atau bahkan tidak punya sama sekali.
“Kalau untuk para konglomerat, para oligarki tadi itu, tidak ada masalah tanah, mereka diistimewakan, mau minta berapa saja akan dikasih oleh negara. Tapi coba bayangkan petani-petani kita atau masyarakat secara umum, mereka memiliki tanah cuma 0,0 sekian hektar atau bahkan tidak punya tanah sama sekali,” ujarnya.
Fajar menilai, kebijakan redistribusi tanah belum menyentuh akar ketimpangan. “Kalaupun sudah pernah ada redistribusi tanah, saya kira itu masih sangat terbatas dibandingkan dengan tanah-tanah yang dikelola oleh sektor swasta atau oleh oligarki tadi itu,” jelasnya.
Ia menegaskan, akar persoalan terletak pada pandangan kapitalistik yang menganggap seluruh tanah milik negara.
“Ini semua sebenarnya juga dikontribusikan oleh cara pandang dalam sistem ekonomi kapitalis bahwa setiap tanah itu adalah milik negara. Padahal jelas bahwa seharusnya tidak semua tanah milik negara karena ada histori kepemilikannya dan seterusnya,” pungkasnya. [] Muhar
0 Komentar