Sejarah

6/recent/Sejarah-posts

Header Ads Widget

Responsive Advertisement

KH SHIDDIQ AL-JAWI: PENERAPAN SYARIAH KAFFAH WAJIB, BUTUH NEGARA KHILAFAH


Ulama, pakar fikih kontemporer, KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menjelaskan bahwa menerapkan syariah Islam secara menyeluruh (kaffah) merupakan kewajiban yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya negara khilafah yang mendukungnya.

Menerapkan syariah Islam secara menyeluruh atau kaffah itu wajib. Nah, ini tidak bisa, tidak mungkin sempurna kecuali ada negara yang memang mendukung penerapan syariah secara kaffah itu,” jelasnya dalam program "PROKONTRA" bertajuk Rahasia Kaidah Fiqih: Mengapa Khilafah Itu Wajib? di kanal YouTube Al-Khilafah, Senin (29/9/2025).

Kiai Shiddiq melanjutkan, hal itu sejalan dengan kaidah fikih maa la yatimmul wajibu illaa bihi, fahuwa wajibun. Yang berarti suatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu pun hukumnya wajib.

Maka itu, ia menyatakan, menegakkan khilafah merupakan konsekuensi logis demi terlaksananya kewajiban syariah secara total atau menyeluruh (kaffah) tersebut.

“Sebagaimana dalam firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 208: Yaa ayyuhalladzina amanu udkhulu fis-silmi kaffah, wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah! Masuk ke dalam Islam secara kaffah itu ditafsirkan oleh para ulama, di antaranya Imam Jalaluddin As-Suyuti dalam Tafsir al-Jalalain, yaitu fi jami’i syaraihi, pada semua syariat-syariat Allah,” jelasnya.

Kiai Shiddiq menegaskan bahwa perintah dalam ayat tersebut mencakup seluruh aspek syariat, tidak hanya ibadah ritual.

Jadi tidak hanya shalat yang kita amalkan, tapi juga berjihad fisabilillah, menerapkan qishash, hingga sanksi-sanksi pidana lainnya. Semua ketentuan syariah itu wajib kita amalkan. Tapi tidak mungkin kecuali ada negara khilafah,” ujarnya.

Sementara itu, menanggapi pandangan yang menyebut khilafah hanya lahir dari kebutuhan sosial tanpa dasar agama, Kiai Shiddiq menilai bahwa hal itu lahir dari pandangan yang tidak menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai sumber dan landasan penilaian (hukum) terhadap fakta.

Kalau seorang sosiolog menganalisis, mereka hampir dipastikan tidak memasukkan wahyu Al-Qur’an atau hadits sebagai alat analisis. Maka wajar mereka menganggap para sahabat Nabi membentuk negara (disangka) hanya karena keharusan sosial, bukan karena dorongan agama. Analisis seperti itu garing, karena tidak ada nilai spiritualnya,” tegasnya.

Menurutnya, para sahabat Rasulullah SAW justru mendirikan negara khilafah berdasarkan perintah syara’.

Tidak halal, kata Nabi, ada tiga orang di suatu tempat kecuali salah seorang dari mereka menjadi pemimpinnya. Ini pasti dipahami para sahabat. Apalagi jumlah mereka lebih dari tiga orang. Maka jelas, musyawarah sahabat di Saqifah Bani Sa’idah setelah wafatnya Rasulullah adalah untuk meneruskan kepemimpinan Nabi dalam menegakkan syariat Islam,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Kiai Shiddiq menerangkan bahwa Rasulullah Muhammad SAW memiliki dua kedudukan, yaitu sebagai nabi yang menyampaikan wahyu, dan sebagai pemimpin yang menegakkan hukum Allah.

Misalnya, dalam Al-Maidah ayat 67 Allah berfirman Yaa ayyuhar rasul balligh maa unzila ilaika min rabbik (wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu). Ini fungsi Nabi sebagai penyampai wahyu. Tapi ada juga perintah lain, fahkum bainahum bimaa anzalallaah (maka tegakkanlah hukum di antara mereka dengan apa yang diturunkan Allah). Nah, fungsi Nabi sebagai pemimpin inilah yang dilanjutkan para sahabat dengan mendirikan khilafah, (sebagai teladan yang wajib diikuti),” pungkasnya. [] Muhar

Posting Komentar

0 Komentar