
Pengamat hubungan internasional dari Geopolitical Institute, Hasbi Aswar, Ph.D., mengemukakan bahwa Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perdamaian Gaza atau "2025 Gaza Peace Summit" yang berlangsung di Kairo, Mesir, pada Senin, 13 Oktober 2025, tidak lepas dari kepentingan politik Amerika Serikat (AS). Menurutnya, forum tersebut merupakan kelanjutan dari proyek politik Donald Trump yang menempatkan Israel sebagai pihak yang harus diamankan.
"Karena ini bagian dari proyek Trump atau proyek Amerika Serikat, sejak dari konteks itu kita sudah tidak bisa berharap bahwa ini akan menyelesaikan persoalan (penjajahan) di Gaza," ujarnya dalam Kabar Petang: Peace 2025, Occupation by Design, di kanal YouTube Khilafah News, Senin, 20 Oktober 2025.
Sejak awal, Hasbi mengungkapkan bahwa pertemuan puluhan negara di dunia dalam KTT di Kairo tersebut merupakan tindak lanjut dari rancangan politik Trump yang melibatkan negara-negara koalisi AS.
"Kalau kita lihat, ini masih dalam kerangka merealisasikan usulan Trump, 20 poin itu. Berkaitan dengan gencatan senjata, pembangunan kembali Gaza, termasuk pembentukan tim transisi atau pemerintahan di Gaza," ungkapnya.
Ia menyatakan bahwa AS memandang pejuang Palestina sebagai akar permasalahan, bukan agresi Israel.
"Perspektifnya Trump, yang menjadi akar masalah di Gaza adalah para pejuang. Dalam bahasa mereka, kelompok pemberontak, kelompok teroris," geramnya.
Padahal, terang Hasbi, yang melakukan kekerasan dan penghancuran di Gaza adalah Israel. Meski telah diumumkan gencatan senjata, Israel terus melanggar perjanjian.
"Bahkan ada yang menyebutkan Israel sudah melakukan pelanggaran 20 kali di Gaza. Itu baru di Gaza, belum di Tepi Barat," katanya.
Ia juga membeberkan bahwa KTT Perdamaian Gaza di Kairo tidak membahas akar permasalahan dan justru bertujuan menyingkirkan pejuang Hamas (gerakan perlawanan) dari proses perdamaian.
"Hamas tidak dilibatkan karena dianggap sebagai akar masalah. Jadi, dari perspektifnya saja sudah perspektif Amerika Serikat, dan kalau kita katakan perspektif Amerika, ya pasti Israel yang menjadi kepentingan utama bagi Amerika Serikat untuk diamankan," bebernya.
Hasbi memastikan, seluruh proses di Gaza ke depan tetap akan menguntungkan hegemoni AS di dunia Islam dan penjajahan Israel di Palestina.
"Semua proses ke depan di Gaza itu, walaupun melibatkan negara-negara Muslim mayoritas, tetap saja tidak menguntungkan warga Gaza, Palestina, tetapi yang diuntungkan adalah Amerika Serikat," tegasnya.
Lebih jauh, Hasbi mengungkapkan bahwa pendekatan yang dilakukan AS bersifat sepihak. "Ini betul-betul pendekatan unilateral, pendekatan sebuah negara, khususnya Amerika Serikat, yang mengajak beberapa negara lain untuk ikut terlibat, tentunya dengan prioritas kepentingan Amerika Serikat," ujarnya.
Kalau memang memiliki niat baik, kata Hasbi, seharusnya ada komite khusus yang dibentuk di PBB untuk mendorong gencatan senjata, melakukan pengawasan, dan menegakkan hukum bagi para pelanggar. Namun, pendekatan semacam itu tidak diambil karena tidak sesuai dengan orientasi politik AS.
"Yang diinginkan oleh Amerika itu kan gencatan senjata, kemudian Hamas hilang. Itu saja. Setelah Hamas hilang, barulah bantuan kemanusiaan dan rekonstruksi Gaza dilakukan," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pendekatan yang ideal seharusnya bersifat multilateral dan melibatkan pihak netral. "Multilateral itu artinya PBB dilibatkan, banyak negara terlibat, termasuk pihak ketiga yang netral seperti jurnalis, agamawan, dan pasukan perdamaian," sebutnya.
Hasbi memperingatkan, selama AS masih mendominasi politik internasional, hasil politik global tidak akan berpihak pada Palestina.
"Amerika Serikat yang mengajukan untuk kepentingannya sendiri, sedangkan negara-negara Muslim hanya bisa ikut," pungkasnya. [] Muhar
0 Komentar