
Menanggapi rencana perpanjangan izin operasi PT Freeport oleh Pemerintah Indonesia hingga 2061, peneliti dari Masyarakat Sosial Politik Indonesia (MSPI), Dr. M. Riyan, M.Ag., menyebut hal itu sebagai “karpet merah” (perlakuan istimewa) untuk merampok kekayaan masyarakat.
“Jadi, karpet merahnya itu jelas bahwa mereka diberikan kesempatan untuk, kalau bahasa saya, merampok apa yang menjadi kekayaan masyarakat,” ujarnya dalam program Kabar Petang: Pemerintah Perpanjang Kontrak Freeport, di kanal YouTube Khilafah News, Jumat (17/10/2025).
Riyan menjelaskan, meskipun Indonesia diklaim saat ini memiliki (hasil pembelian) 51 persen saham, akan tetapi kendali atas tambang emas dan tembaga tersebut masih berada di tangan Freeport.
“Jadi tetap saja walaupun persentase kita 51 persen, tetapi segala hal yang terkait dengan kontrol kendali itu masih ada di Freeport,” jelasnya.
Maka itu, Riyan menegaskan, perpanjangan izin Freeport seharusnya tidak dilakukan. Ia pun mengungkapkan bahwa seharusnya Indonesia sudah bisa menguasai penuh tambang tersebut sejak 2021. Namun, kontrak justru diperpanjang hingga 2041, dan kini hendak kembali diulur sampai 2061.
“Sekarang tahun 2025 masih cukup lama sebenarnya, kan. Nah, ini karena kemudian ada iming-iming seolah-olah kemudian ditambahkan 12 persen (saham). Maka kemudian diperpanjang, akan dilegalkan sampai 2061,” paparnya.
Riyan lantas menyoroti ketimpangan sosial di Papua, tempat Freeport beroperasi, yang justru semakin nyata di tengah kekayaan tambang yang melimpah. Menurutnya, rakyat Papua seharusnya menikmati kesejahteraan, bukan sebaliknya hidup dalam keterpurukan.
“Yang sekarang kita lihat, ada berbagai problem mulai dari masalah kelaparan, separatisme, sampai persoalan-persoalan lainnya. Itu seolah-olah kita menghadapi keadaan yang sangat kontras. Satu sisi tambang kita dinikmati oleh asing, sementara kita (masyarakat Indonesia) yang punya malah penuh dengan keterpurukan,” tegasnya.
Indonesia, sesalnya, hanya mendapat “recehan” dari pajak, sementara janji pembangunan smelter belum juga terealisasi dengan baik, dan persoalan lingkungan pun belum terselesaikan.
“Kita hanya dapat, bahasanya itu, recehannya pajak, itu pun juga bermasalah. Yang kedua, juga dijanjikan smelter pun itu juga tidak kunjung sebagaimana yang seharusnya. Dan yang ketiga, persoalan lingkungan yang sampai sekarang tidak pernah tuntas,” bebernya.
Padahal, Riyan menegaskan, kekayaan alam Indonesia sejatinya adalah milik masyarakat umum, termasuk rakyat.
“Itu artinya kekayaan ini seharusnya kemudian kita bisa nikmati secara bersama-sama begitu, bukan dimiliki hanya oleh segelintir orang apalagi asing,” pungkasnya.
Dilansir dari CNBC Indonesia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia membeberkan bahwa rencana penambahan kepemilikan saham PT Freeport Indonesia (PTFI) oleh pemerintah sudah dalam tahap paraf kesepakatan. Rencananya, Indonesia menambah kepemilikan saham di PTFI sebesar 12 persen.
Dengan begitu, saham pemerintah Indonesia di tambang yang berlokasi di Mimika, Papua, itu menjadi 63 persen dari yang saat ini hanya 51 persen.
Bahlil mengatakan, dengan penambahan kepemilikan saham pemerintah terhadap PTFI, maka operasional Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dirancang diperpanjang hingga 2061 atau hingga cadangan tambang yang dioperasikan oleh perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu selesai.
“Rancangannya akan ke sana (hingga tahun 2061). Karena memang undang-undang kita, kan, pengelolaan tambang yang langsung berbasis smelter sampai dengan cadangan selesai,” kata Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (10/10/2025). [] Muhar
0 Komentar